Selasa, 27 Mei 2014

THE REST OF MY LIFE


Introduction :
Dear reader, not rider hehe...
This story is just my imagination, please be kindly for not so serious to think about this.
I just worry if you got insomnia hahaha...
Happy reading all...

----------------------------------------------------------------------------------------- Namaku Ilona. Ilona Mayla Rosquez 

Aku lahir di Madrid. Aku penari balet remaja terbaik, bahkan untuk kategori usiaku aku penari balet terbaik di Spanyol. Bakat baletku ini membawaku berkeliling ke berbagai negara, apalagi kalau bukan berkompetisi dengan penari penari balet terbaik dari negara lain. sungguh sangat menyenangkan, semua mengatakan aku beruntung - sebab di usiaku yang masih belia hampir seluruh negara pernah aku kunjungi. Namun tidak ada yang abadi di dunia ini, aku mungkin tidak pernah kalah oleh penari balet lain seusiaku. Namun aku tak berdaya ketika akhirnya Myasthenia Gravis* mengalahkanku.

Aku terlahir karena cinta yang begitu dalam dari Ayahku Sebastian Rosquez kepada mamaku seorang penyandang myasthenia gravis, Mayla Alonso. Karena cinta itulah dalam 2 tahun ini aku duduk di atas kursi roda. Aku tidak hanya mewarisi bakat balet mama tapi juga penyakit autoimune yang disebut Myasthenia gravis. Warisan mamaku yang ini telah melumpuhkan otot otot kakiku dan menyudahi karirku sebagai penari balet. Sekarang aku hanya menunggu ketika myasthenia gravis itu menyerang otot otot pernafasanku, seperti saat yang sama ketika myasthenia gravis itu memisahkan mama dari aku dan papa.
Mungkinkah aku seberuntung mama? Merasakan cinta yang manis dari seorang lelaki.
Aku hanya bisa tersenyum kecut. Kenyataan dihadapanku terlihat pahit...

Aku gadis 15 tahun dan sudah 2 bulan myasthenia gravis ini telah merenggut bakatku menari, berdiri di tas jempol-berlari-melompat dan berputar. aku bukan siapa-siapa lagi, bukan Ilona sang penari balet lagi. Aku hanya pesakitan di atas kursi roda yang sedang menunggu kematian. Penyakit ini warisan mama, mamaku tercinta. Parahnya penyakit ini lebih cepat muncul ketika diturunkan. Nenekku juga meninggal karena myasthenia gravis ketika usia 60, dan mama pun pergi dengan cara yang sama di usia 40 tahun. Secara matematis, aku akan meninggal di usia 20 tahun. Aku tidak memberitahu papa tentang hitungan matematis ini. Aku menuliskannya di dalam tablet, hadiah ulang tahun dari papa 2 tahun lalu.

Aku tersenyum getir. Sudah dipastikan takkan ada laki laki yang mau punya kekasih calon mayat seperti diriku. Aku meminta pada papa untuk pindah dari madrid. Aku malu dengan teman temanku. Aku ingin tinggal di tempat kelahiran mama, cervera. Di sana aku bisa setiap hari mengunjungi makan mama dan nenek setiap hari, dan membayangkan 5 tahun lagi aku pun berbaring di sana di samping mereka.

Sepanjang ingatanku, cervera seperti negeri dongeng. Rumah rumah di atas bukit, udara sejuk jauh dati deru motor dan mobil, hamparan rumput yang luas. Rasanya akan sangat indah jika aku menghabiskan sisa waktu di sana.

---//---

Aku duduk di atas kursi rodaku berwarna pink dengan kombinasi warna putih, tidak tampak seperti kursi roda. lebih mirip kursi putri raja. tapi sebagus apapun kursi roda aku yakin tak satupun orang menginginkan kakinya lumpung dan bergantung pada benda itu. aku mendesah pelan. buku dalam pangkuannku telah habis kubaca sejam yang lalu. entah sudah berapa buku kubaca. tetap saja semuanya terasa membosankan, sepi dan kosong. Aku mengarahkan roda kursiku ke jendela, menatap kosong sisa butir butir air hujan. langit masih mendung, sama mendungnya dengan hatiku.

"ilo...sayang..sudah diminum obatnya nak " tanya papa tiba tiba sambul menusak ubun-ubun kepalaku. lamunanku buyar seperti kolam tenang yang tiba tiba di lemar batu. Aku belum mengatakan keinginanku pindah ke Cervera. Mungkin inilah saat yang tepat, batinku.

"belum pap, aku benci minum obat itu karena membuatku diare" jawabku pelan. sepertinya tubuhku tidak bisa mentoleransi pyridostigmine bromide yang terkandung dalam obat itu. sejak minum obat itu aku seriang mual dan diare. tanpa sepengetahuan papa, aku berhenti meminumnya.

Papa menarik kursi rodaku ke dekat tempat tidur. Papa duduk dikasur dan kursi roda yang kududuki ia pegangi. kami sekarang berhadap hadapan. sepertinya papa tidak suka karena aku tidak minum obat itu. 

"sudah berapa lama kamu berhenti meminumnya?" tanya papa dengan nada yang tetap lembut. sikap papa yang tidak emosional itulah yang membuatku selalu berani berkata jujur.

"udah 2 minggu pap, dan ternyata benar. sejak Ilo berhenti minum obat itu ilo ngga mual dan diare lagi pap..." jawabku membela diri

Papa manggut-manggut, aku tau dalam hati pasti papa sebenernya komplain " kenapa ngga bilang sama papa...". Dan setelah itu pasti papa akan merasa bersalah, karena papa selama 2 minggu ini baru tugas dari Jerman dan Prancis.

"Hmm, sudah tidak apa-apa. Hari ini jadwal kontrol, nanti papa minta dokter untuk mengganti resepnya, tapi janji yah di minum ! " kata papa sambil mengacak rambutku.

Aku mengacungkan 2 jari simbol Victory " janji pap"

Aku mengurungkan niatku untuk mengutarakan keinginanku pindah ke Cervera. Papa terlihat capek apalagi saat ia tau aku tidak minum obat selama 2 minggu. Aku harus menumbuhkan kepercayaan papa dulu padaku, dengan disiplin minum obat dan mengurus diriku sendiri. Aku tidak boleh terlihat sedih dan putus asa di hadapan papa.


---//---

Sejak, aku tidak lagi menari aku mencoba mencari kegiatan lain. mencoba mencari bakat lain dalam diriku -tentunya kegiatan yang tidak memerlukan posisi berdiri. sebenarnya aku bukan sama sekali tidak bisa jalan, aku bisa jalan tapi hanya sebentar setelah itu aku akan terjatuh. lebih baik aku mencari kegiatan yang bisa dilakukan sambil duduk. Aku mencoba mengikuti kelas merajut, tapi kepalaku pusing dibuatnya. benang benang itu seperti ular yang saling melilit. kemudian aku mencoba kelas menyanyi namun papa tidak mengijinkan karena khawatir akan merangsang kelumpuhan otot-otot pernafasan lebih cepat. akhirnya waktuku kuhabiskan dengan menulis, aku membuat blog khusus untuk menampung semua imajinasiku, aku tidak menyangka ternyata banyak yang menyukai tulisanku. rasanya seperti pertama kali aku pentas saat usiaku 4 tahun kemudian semua orang yang  menonton pertunjukkan tepuk tangan. mungkin rasanya seperti ketagihan marijuana. 

Sesekali jika ide menulisku sedang tidak muncul aku menghabiskan waktu dengan bermain piano, seperti sore ini. Aku memainkan lagu lama milik westlife "I have a dream". suara denting pianoku menyebar ke seluruh ruangan di rumah ini karena letak piano berada di tengah tengah ruangan. aku suka sekali dengan lirik lagu ini cocok sekali untuk menyemangati diriku tentang kenyataanku, kenyataan takdirku sebagai penyandang MG.

I have a dream, a song to sing
To help me cope with anything
If you see the wonder  of a fairy tale
You can take the future even if you fail
I believe in angels
Something good in everything I see
I believe in angels
When I know the time is right for me
I'll cross the stream - I have a dream

I have a dream, a fantasy  

To help me through  reality  
And my destination  makes it worth the while
Pushing through the darkness 

Still another mile
I believe in angels
Something good in everything I see
I believe in angels
When I know the time is right for me
I'll cross the stream 

I have a dream.....

bibirku ikut bersenandung melagukan syair terakhir lagu itu  ketika jariku menekan tuts terakhir piano.

"Plok plok plok..." terdengar suara tepuk tangan ketika denting pianoku berakhir. Aku menoleh

"papa!!! sejak kapan papa di situ? bikin Ilo kaget deh..." rajukku manja. aku menghampiri papa yang masih rapi berpakaian kantor.

"dari tadi, kamu menghayati sekali lagu itu sayang....bahkan papa ikut terbawa roh lagu itu.."

" idihh papa bisa aja deh..., makan yuk pap " ajakku, jam sudah menunjukkan pukul 18.00. masih terlalu sore memang untuk disebut sebagai makan malam. Tapi aku harus memulai lebih awal, aku tidak boleh makan terburu-buru dan harus mengunyahnya pelan agar  sel sel otot pencernaanku
tidak kehabisan energi. sebetulnya penyakitku simpel aku hanya kehabisan asetilkolin (ACh) akibat sistem imun tubuhku merusaknya, sehingga sinyal syaraf motorik yang seharusnya menggerakan sel-sel otot terhambat, sehingga ototku lumpuh.


"Ilo makan duluan aja, papa mau mandi dan ganti baju, nanti papa nyusul, okay?"

Aku mengacungkan jempol ke arah papa, pertanda okay!

Aku menekan tombol mirip saklar lampu di meja. itu adalah bel untuk ke dapur pertanda aku sudah siap makan. sesaat setelah aku menekan tombol itu 2 asisten rumah tangga di rumahku datang, menyaiapkan meja makan dan menu harianku yang sudah terjadwal.

Aku mulai menyantap hidangan itu pelan-pelan seperti nasihat dokter padaku. aku jadi ingat dulu waktu mama sakitnya makin parah, bahkan menelan makananpun mama tidak bisa, hingga harus makan melalui selang yang disalurkan ditenggorokannya. Aku bergidik membayangkannya. aku tidak ingin seperti itu, jika sakitku nanti parah aku tidak mau hidup dengan selang seperti mama. ketika semua selang yang menuju tubuh mama di lepas, mama meninggal. mama sangat menderita bertahan dengan semua selang oksigen, selang invus, dan selang sonde. rasanya tekadku untuk pindah ke Cervera semakin bulat, aku ingin meninggal dengan normal dan tenang di desa kecil itu.

Pada datang ketika makananku tersisa separuh porsi lagi. Papa tersenyum melihatku.
"perkembangan kamu makin bagus nak, papa lihat kamu tidak pucat lagi dan sesekali sudah bisa menggerakan kaki ya ?" kata papa sambil menyendok makananya. Aku hanya mengangguk. Dokter melarangku bicara saat makan karena dapat merangsang kejadian tersedak.

Aku tersenyum senyum kecil, rasanya suasana sekarang sangat tepat untuk menyampaikan keinginanku pindah ke Cervera. Kulihat wajah papa juga sedang sumringah
"Ilo !!"

"papa!"

kami berbarengan memanggil. aku dan papa terkekeh.

"papa mau bilang apa sama ilo?"

"Tadi ilo juga, mau bilang  hayoo sama papa?"

"papa dulu aja deh, nanti baru ilo yang cerita"

"Oke, papa lusa cuti, papa mau ajak kamu liburan. papa tau kamu pasti sangat bosan karena hampir 5 bulan tidak kemana-mana..."

Aku menyambut dengan girang " kemana pap?" Tanyaku penasaran.

"Ke Cervera!!, kamu pasti suka kita akan mengunjungi makam mama dan nenek di sana. sisanya berjalan jalan pagi dan sore menikmati pemandangan cervera yang katamu seperti negeri dongeng kan? sejak kecil kamu selalu bilang begitu. papa sendiri tidak tau karena papa tidak pernah pergi ke negeri dongeng" papa sedikit menggodaku tentang imajinasiku mengenai negeri dongeng.

Aku senang tak terkira, Tuhan mendengar doaku. Tanpa ku repot mengatakannya, papa dengan sendirinya menawari.

"papa udah cerita, sekarang giliran kamu yang cerita "

Aku menggeleng " Ngga jadi pap..."

"loh kenapa?" tanya Papa dengan ekspresi heran

"soalnya yang ilo mau sampaikan sudah papa sampaikan hihi...." jawabku sambil nyengir. entah kenapa aku tidak berani bilang, aku mau selamanya di sana. Aku khawatir jika aku bilang papa justru membatalkannya.

"hahaha..jadi kamu ingin ke Cervera juga...Guud!!" seru papa, lalu menghampiriku dan mencium ubun-ubunku.

setelah itu papa mengantarku ke kamar. Papa menggendongku dari kursi roda ke tempat tidur. menyiapkan meja kecil dipangkuanku. tanpa diminta papa sudah tau, sebelum tidur aku selalu menulis catatan harian di tablet.

"jangan terlalu larut ya nak, cepat istirahat..." pesan papa sebelum meninggalkan kamarku.

" sipp pap!" jawabku ceria.

Hari ini aku bahagia sekali, artinya lusa aku sudah akan berada di cervera. rasanya tak sabar menunggu hari itu tiba. Oooh cervera...seperti ada magnet yang kuat menarikku ke sana.

Cervera- rumah-rumah di atas bukit yang cantik


---//---

Cervera,

Akhirnya hari yang paling kutunggu tiba juga. "cervera I'm coming " pekikku dalam hati. Jika dulu aku lebih suka naik kereta dari Madrid ke Bracelona baru lanjut ke cervera. Mengingat kondisiku sekarang, Papa lebih memilih menggunakn pesawat yang hanya perlu waktu 45 menit. Padahal naik kereta lebih asyik, karena pemandangan sepanjang jalur kereta madrid barcelona sangat indah, namun papa khawatir perjalanan selama 8 jam di kereta bisa membuat staminaku drop. 



Lumayan lama menunggu bagasi sebab bawaan kami seperti orang pindahan. Diam diam aku membawa sebagian besar bajuku. papa tidak curiga, mungkin itulah sifat pria, seandainya mama masih ada, mama pasti bertanya mengapa hanya 4 ari tapi aku membawa baju seperti untuk 1 bulan. Di cervera nanti kami tinggal di rumah nenek yang saat ini didiami oleh adiknya mama dan suaminya. Paman Alzamora dan bibi Carlotta yang menjemput kami. Paman Alzamora adalah dokter penyakit dalam sedangkan bibi carlotta adalah ibu rumah tangga biasa yang sangat jago bikin aneka kue. Mereka sudah menikah 13 tahun namun belum dikaruniai anak.

Sejak kepergian mama,  aku sering meminta bibi Carlotta datang ke madrid. Dia adik mama satu satunya, wajahnya pun mirip. Cukup mengobati kerinduanku pada mama.

Aku melajukan sendiri kursi rodaku karena papa sudah cukup repot membawa 2 kopor besar. Lagi pula kursi rodaku ini dilengkapi dengan fungsi elektrik, jadi jika aku ingin cepat aku tidak perlu repot memutar roda, cukup menarik tuasnya saja- kursipun meluncur. Tepat di pintu keluar kedatangan, paman dan bibi sudah menunggu. Mereka melambaikan tangan ke arah kami. Aku mempercepat laju kursi rodaku, bibi Carlotta setengah berlari menyambutku.

"Ilo sayang....bibi sangat merindukanmu, senang melihatmu sehat nak..." 

Bibi carlota memelukku, mencium kedua pipiku dan terakhir mencium keningku. Kulihat matanya berkaca kaca, aku yakin itu air mata bahagia karena melihatku kembali sehat setelah beberapa bulan lalu terbaring di ICU.

"Aku juga rinduuuu sekali ..." sambutku tak kalah semangat. Sementara ayah dan paman Alzamora berpelukan sejenak sambil saling menepuk punggung, khas pria jika saling bertemu. Paman Alzamora membawakan 1 kopor kami lalu bersama sama menuju ke mobil yang diparkir tidak jauh dari pintu kedatangan tadi.

Di mobil aku tertidur, ini adalah perjalanan pertamaku ke luar kota sejak Miasthenia gravis menjajahku. Rasanya melelahkan meski untuk ukuran orang normal tidak sama sekali.

Aku terbangun dan akhirnya menyadari aku tidak lagi di mobil tapi di dalam kamar, kamar tamu di rumah bibi Carlotta. Rupanya aku tertidur lelap sekali bahkan aku tidak terbangun saat papa memindahkan aku dari mobil ke dalam kamar. 

"Sudah bangun nak?" Suara lembut bibi Carlotta yang pertama kudengar. Aku tersenyum malu. Sungguh memalukan tidur seperti kerbau sampai sampai tidak terbangun, makiku pada diri sendiri.

"Eeehmm iyaa, aku tidak tau kenapa bisa tertidur sepulas itu..." terangku malu malu.

Bibi carlota duduk di bibir tempat tidur, membelai rambutku.

"Tidak apa apa, mungkin pengaruh obat yang kamu minum..."
Kata kata bibi Carlotta sungguh bijak, tidak memojokkanku. Aku memeluk bibi carlotta

Sore itu setelah aku bangun tidur engan dibantu bibi Carlotta, aku menata pakaianku ke dalam lemari. Bibi Carlotta nampak heran dengan jumlah baju yang kubawa.

"ilo, banyak sekali bajunya, apa sehari kamu mau ganti sepuluh baju?' tanya bibi Carlotta menggodaku. Tapi aku tau pasti dalam hati bibi Carlotta berkata "singgah 4 hari kenapa bajunya seperti setahun". Ia hanya tidak ingin dikira mengusirku kalau bertanya begitu.

Aku tertawa renyah dengan komentarnya " hihi iya bi, aku mau pindah tinggal di sini..boleh yaaa?" tanyaku manja.

Bibi Carlota membelalakkan matanya "Benarkah?? kenapa tidak bilang dari kemarin ? tentu bibi tidak keberatan, senang sekali sayang " seraya memelukku. Aku tak membalas pelukannya. Bibi Carlotta merenggangkan pelukannya tapi masih memegangi kedua pundakku. Kali ini tatapannya menyelidik. Aku segera memasang senyum inosen andalan, sambil berkata " Tapi papa belum tau, aku belum bilang...hmmm aku ingin bibi Carlotta membantuku persuasi papa yah? bisa kaan? " Kali ini aku yang bergelayut manja pada bibi Carlotta, berharap beliau mengiyakan.

"hmm...." bibi Carlotta bergumam, sepertinya sedang mempertimbangkan permintaanku. Aku tersenyum kecil.

"Oke, tapi beritahu dulu alasanmu, papamu itu orang yang rasional, asalkan alasannya masuk akal pasti diperbolehkan..." 

Aku menegakkan posisi duduk, tidak lagi bergelayut seperti tadi. "pertama, aku perlu suasana baru, di rumah terlalu banyak kenangan tentang mama ditambah kondisiku sekarang yang tidak bisa ballet lagi menambah tekanan secara emosional, di rumah itu banyak pernak pernik balet yang tak mungkin kubuang tapi menyakitkan jika melihatnya..." kata-kataku tertahan rasanya seperti tercekat, mataku mulai basah oleh cairan bening air mataku

Bibi carlotta tersenyum teduh, menangkanku dengan mengusap air mata di pipiku dengan kedua ibu jarinya. Kini ia menopang daguku dengan kedua belah telapak tangannya. Tangisku justru semakin menjadi, sebenarnya alasan pertamaku sudah cukup buat bibi Carlotta mengajukan argumen ke papa. Tapi aku tetap bertekad menyampaikan alasan ke dua "Kedua,...aku ingin bisa setiap hari ke makam mama, agar aku tidak selalu membayangkan mama hidup, tapi aku benar benar menerima bahwa mama sudah tiada....aku..."

Aku benar benar tidak sanggup meneruskan kalimatku, bibi Carlotta menarikku ke dalam pelukannya.


"Sayang jangan menangis, ingat kesehatanmu...jangan membuat papamu khawatir melihatmu menangis seperti ini.." kata bibi Carlotta sembari membelai lembut kepalaku. Meski bibi Carlotta tidak punya anak, namun naluri keibuannya bisa kurasakan. Aku menuruti nasihatnya, kuhapus air mataku dengan punggung tanganku. Bibi carlotta kemudian menyodorkan tissu kepadaku. setelah beberapa lembar tissu barulah wajahku benar benar kering dari air mata. tapi hidungku masih merah, juga mataku. Semoga Papa tidak mendapatiku dalam keadaan seperti ini. Bibi Carlotta beranjak meninggalkan kamar setelah melihatku tenang. Sejurus kemudian ia kembali dengan segelas air putih. 

"Minumlah, biar lebih tenang..." setelah menyodorkan segelas air putih, bibi carlotta meraih sebuah novel dari meja dan menyerahkannya padaku seraya berkata "..dan ini coba lihat ada novel bagus bacalah ini karya penulis paling terkenal di Spanyol, Gabriel Garcia Marquez "

Aku membaca judul di sampulnya " Innocent Erendira". Aku tersenyum ke arah bibi Carlotta " Terimakasih...selama ini aku hanya mendengar namanya, kegiatan balletku dulu membuatku tidak pernah sempat membelinya.."

Bibi Carlotta tersenyum lalu meninggalkan kamar. Aku memanggilnya " Bibi Carlotta mau kemana?'

"Melaksanakan tugasmu cantik..." seraya mengeringkan sebelah matanya kemudian menghilang di balik pintu. 

"Tuhan, semoga papa mengijinkanku tinggal di cervera...aamiin!" doaku dalam hati.  


www.mercymarc.blogspot.com
Makan malam tiba. Bibi Carlotta menjemputku ke kamar dan mendorong kursi rodaku ke ruang makan. Papa dan paman Alzamora sudah menungguku, mereka tampak terlibat obrolan seru, apalagi kalau bukan tentang sepak bola, apalagi tim kebanggaan kota kami menang.

"waah anak papa, cantik sekali malam ini...ayo sini nak kita makan masakan bibi Carlotta.." ajak papa tanpa ada perubahan air muka seperti yang kukira. sudah berceritakan bibi carlotta tentang keinginanku untuk tinggal di cervera- tanyaku dalam hati.

Hari itu bibi Carlotta memasak lassagna terlezat di dunia. Makananpun ludes. Setelah itu di tutup dengan puding manis untuk menetralkan rasa asin lasagna tadi. Selama kami makan obrolan seputar bola masih menjadi topik hangat. Lama-lama aku penasaran juga mengenai pendapat papa tentang keinginanku. Ahh! Bibi carlotta juga tidak membuka pembicaraan ke arah sana.

"Ehmm, pap...paman...boleh ganti topik, ngga?" selaku memberanikan diri.

"eiihh hehe, iyalah boleh, sebab kalau bicara bola sama pamanmu ini tak pernah ada ujungnya, kenapa sayang..?" Papa menanggapi

"Iya, kenapa ? ilo mau menyampaikan sesuatu?" tanya paman Alzamora

"hmmm....." aku kemudia melirik bibi carlotta memberi kode.

"Tenanglah...iloo, papamu sudah ACC kamu tinggal di sini, argumenmu di setujui " ucap bibi Carlotta dengan wajah sumringah sambil mengerlingkan mata ke arahku

Aku menutup mulutku dengan kedua tanganku "haaaahhh kenapa bibi tidak bilang???"

"Hahaha, baru saja papa mau bilang " sela papa sambil tertawa.

Sungguh di luar dugaanku, tau begini aku tidak perlu stres dan pusing memikirkan cara menyampaikan berita ini ke Papa.

"tau tidak? kalian berdua ini sama!" ucap bibi Carlotta 

"Maksudnya ?" tanya Papa bingung

"iya maksudnya ?" aku ikut bingung

"Iya kalian sama sama ingin pindah ke cervera, tapi sama sama takut menyampaikan karena berbagai kekhawatiran dipikiran kalian sendiri. Ilo, papamu bulan depan pindah tugas ke Barcelona, dia ingin mengajakmu pindah ke barcelona tapi khawatir kamu sedih karena meninggalkan rumah di madrid yang penuh kenangan karena kamu dilahirkan dan besar di sana, dia meminta bibi menyampaikan berita ini ke kamu ..."

"iih kok bibi ngga ceritaaaa" potongku

"eeeh dengar dulu, bibi baru tau pada saat akan menyampaikan keinginanmu pindah ke cervera. Klop kan??'

Kami semua tertawa bahagia, papa memelukku erat. Malam itu aku tidur sangat nyenyak. Ternyata bulan depan papa pindah tugas ke Barcelona, papa akan menetap di barcelona. Papa akan rutin mengunjungiku di cervera 3 hari sekali, aku maklum karena pekerjaan papa sangat sibuk.  Aku? Aku tetap seperti rencana semula, tinggal di Cervera bersama bibi Carlotta dan paman Alzamora.   

---//---

Graveyard, Cervera


Graveyard, Cervera. Di sini mama dan nenek dimakamkan
  
   Seperti yang kubayangkan, kepindahanku ke Cervera menjadikan diriku lebih baik secara emosional. Aku menjadi manusia yang baru. Tidak lagi Ilona cengeng yang menangisi kehancuran mimpinya sebagai seorang ballerina. Aku bahkan melupakan bahwa aku adalah seorang ballerina. Aku yang sekarang adalah Ilona si penulis fiksi baru. Aku membuat blog, menulis semua imajinasiku di sana. Menghabiskan pagiku dengan berkeliling bukit memanjakan mata selagi masih bisa melihat- dengan pemandangan indah yang menghampar di cervera. Rutenya selalu sama di akhiri dengan duduk berlama lama memandang batu nisan mama dan nenek. Bagiku pemakaman itu nampak seperti taman dengan pohon pohon rindang dan rumput hijau yang seperti hamparan karpet. Minggu-minngu pertama di cervera kegiatan pagku itu selalu ditemani oleh bibi Carlotta. namun stelah beberapa kali aku mencoba pergi sendiri dan berhasil pulang dengan selamat, bibi Carlotta akhirnya percaya untuk membiarkanku pergi sendiri.

       Pagi ini entah sudah pagi yang keberapa aku melewati jalanan ini, jalanan yang terbuat dari susunan paving blok kokoh, memudahkan kursi rodaku melaluinya- tapi aku tidak pernah sedikitpun bosan melalui pagiku dengan berkeliling seperti ini. Dan pagi ini seperti pagi beberapa hari yang lalu aku kembali bertemu dengan sekelompok laki laki bersepeda, kali ini mereka bertiga. Aku tidak tau siapa mereka. Pasti penduduk asli sini. Aku selalu menunduk setiap kali berpapasan dengan mereka, aku belum siap mental dengan tatapan sebelah mat aorang normal kepada orang invalid seperti aku sekarang. Aku terus menunduk hingga mereka semakin dekat. mereka bertiga terdengar akrab satu sama lain. Siapalah aku ini, mungkin jika aku masih seperti dulu, mereka akan berhenti dan mengajakku berkenalan. Aku menoyor kepalaku sendiri, menyadarkan diri untuk tidak terlalu berangan-angan. Aku ini mayat, dalam 5 tahun ke depan. Aku tidak boleh jatuh cinta, agar kematianku tak terlalu menyakitkan, karena semua kematian harus di hadapi sendiri. Bahkan presiden yang punya ratusan ajudanpun, saat kematian tetap saja ia sendiri. Semua manusia pada akhirnya akan sendiri. 


 "Heii...tunggu..." terdengar suara memanggil.


Sejenak kulepas tuas elektrik kursi rodaku. terdengar langkah-langkah kaki mendekat.

"Apa ini milikmu? "  tanya sesok laki laki yang sekarang berdiri tepat di hadapanku. Aku reflek mendongak. Ia memakai helm sepeda dan kaca mata hitam, wajahnya tidak begitu jelas kuidentifikasi. Tapi giginya bagus dan rapi dibingkai  bibirnya yang tebal dan berisi. Ia menyodorkan handphone berwarna putih dengan sampul warna pink. Tidak salah lagi itu hapeku, aku mengalihkan pandanganku ke pangkuanku. Kosong. Pasti benda itu merosot dari pangkuanku tadi saat aku ingin cepat cepat berlalu dari tempat itu. 

"Oh iyaa, terimakasih yah..." ucapku sambil menerima hape yang ia berikan.

"Ternyata kau sangat cantik, tapi kenapa selalu menunduk?" tanya laki-laki itu tiba -tiba.

Sial!! Makiku dalam hati. ternyata laki laki ini memperhatikanku. Aku malas sekali menanggapi  gayanya yang sok Don Juan. 


 
Ini kesempatanku untuk kabur. "Permisi..." Kilahku sambil menarik tuas elektrik kursi rodaku lagi.

"Eh kita belum berkenalan, siapa namamu?" tanya laki laki itu setengah mengejarku, aku tak menghiraukannya. 

 "Marc ayooo, target kita 40  kilometer hari ini..." teriak salah satu laki-laki yang mungkin teman atau saudaranya. laki-laki itu berhenti mengejarku.

Setidaknya aku tau laki laki itu bernama Marc...

To be continue.... 





     
*: Myasthenia Gravis adalah kelainan auto-imun yang ditandai dengan adanya kelemahan yang berfluktuasi pada otot skeletal. Kelemahan ini akan meningkat saat sedang beraktivitas dan berkurang bila sedang istirahat.

6 komentar:

  1. Waaahhh bagus banget ^_^ , cepet d lnjut yaaa, & kalo udah ada lnjutannya, tag di twitter ya,, and thanks udah di follback :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. @nisa : sip sippp
      Thanks utk komentar positifnya yah...

      Hapus
  2. ceritanya menarik berasa baca novel :D gak sabar nunggu lanjutannya.
    di bagian akhir aku berharap si cowok itu Alex eh ternyata si Marc, hehehe...

    eh iya, salam kenal ya aku Mida ^^
    #jabattangan

    BalasHapus
    Balasan
    1. @mida : kena deh kamuu!!
      Aku tersanjung nih #berasanovelis

      Jabat tangan balikk...nice to know you

      Hapus
  3. keren!! ayo dong dlanjut terus.... ketagihan baca :D

    BalasHapus
  4. Hahaha...ketagihannya ngga sampai sakau kan??

    BalasHapus