Jumat, 24 Oktober 2014

The Secret Story #4



7 bulan kemudian...

Eve benar-benar menepati janjinya untuk menjaga kesehatan dirinya dan bayinya. Eve benar-benar berjuang keras melewati masa-masa mual muntah selama empat bulan. setelah memasuki bulan ke5 hiperemesis hilang. semuanya normal kembali. Sikap Eve yang manis membuat Marc bahagia, lebih bahagia lagi karena saat Eve melahirkan Marc masih dalam masa libur karena musim berikutnya baru akan di mulai akhir maret. Bayi cantik itu lahir tanggal 13 Maret 2015.


“eve lihat anak kita, di cantik sekali..” ucap Marc sambil menggendong bayi cantik berselimut kain pink lembut.


“jauhkan dia dariku marc! Aku tidak mau melihatnya” tukas Eve dengan nada tinggi, seraya membuang wajahnya ke arah jendela. Tatapannya menerawang jauh menembus kaca bahkan melewati hamparan perbukitan yang hijau menghampar. Eve terus menatap keluar tak berkedip meskipun cairan bening mulai menghalangi pandangannya. Rasa sakit sisa melahirkan tak di gubrisnya. Keinginannya saat itu adalah segera meninggalkan Barcelona, kembali ke Belanda dan meneruskan kuliahnya yang terbengkalai.


Bayi dalam gendongan marc bergerak gerak sesekali tangan mungilnya menyentuh kulit Eve, seakan meminta perhatian agar Eve sudi melihatnya. Marc masih terdiam di samping Eve bersama Anabelle, si bayi yang baru lahir 2 jam lalu. Kemudian bayi itu menjerit, menangis sekuat-kuatnya.

“eve, dia menangis, dia lapar. Susuilah dia...please” pinta Marc memelas


“Marc, tolong tepati janjimu, bawa bayi itu keluar, aku tidak mau melihatnya.” Eve bersikeras. Jauh dalam hatinya tersayat-sayat mendengar tangisan bayi itu, ia ingin menoleh dan memeluknya, tetapi sisi dirinya yang lain melarang. Tidak! Jika kamu memilih bayi itu, maka sama artinya kau membunuh Ayahmu. Lalu terbayang wajah ayahnya yang shock dan terkena heart attack ketika mengetahui dirinya hamil di luar nikah dan tidak menyelesaikan program doktoral. Eve memejamkan matanya. Sembilan bulan Eve berbohong pada ayahnya tentang keberadaan dirinya, mencari berbagai alasan agar ayahnya tidak mengunjunginya ke Belanda, menghilang dari teman-temanya, menarik diri dari dunianya. Cukup ! cukup sampai disini semua sandiwara itu! Jerit hati Eve.

“Bawa bayi itu keluar Marc!” ucap Eve dengan nada tinggi. Marc terheran heran mengapa Eve tiba-tiba berubah. Apakah ini yang namanya baby blue syndrom seperti yang pernah ia baca di majalah beberapa waktu lalu?


“Eve...” sergah marc lembut, bayi dalam gendongannya masih menjerit-jerit tak keruan.


“Marc!!!....keluar! dan panggil suster aku akan memeras ASI dan kuberikan dalam botol. Cepatlah sebelum aku berubah pikiran” bentak Eve.


Akhirnya Marc menuruti permintaan Eve. Kesabaran Marc benar-benar sedang diuji. Dua orang suster masuk ke kamar Eve membawa dua buah botol dan alat pompa ASI elektrik.


Sudah 2 hari sejak Eve melahirkan dia sudah bisa bangkit dan mulai berjalan, proses melahirkan normal membuat Eve lebih cepat pulih. Marc berdiri di bibir pintu sambil melipat tangannya di dada matanya tak lepas menatap Eve yang sedang menyisir rambutnya. Eve menghadap jendela, cahaya matahari pagi menyinari wajah cantiknya, membuat Eve tampak bercahaya. Tubuhnya agak berisi sejak dia hamil. Tapi kecantikan wajahnya tak berkurang sedikitpun. Marc menghela nafas berat. Hampir setiap malam Marc berdoa agar Eve mau mengubah keputusannya, agar Eve mau menjadi istrinya dan membesar Anabelle bersama-sama. Sekali lagi itu hanya fatamorgana! Marc menelan ludahnya, terasa pahit seperti kenyataan yang di alaminya. Marc merasa telah memiliki Eve sejak Eve hamil, memiliki cintanya, tapi ada satu yang tidak pernah bisa Marc miliki, yaitu jalan hidup Eve. Eve memilih meninggalkan Marc dan Anabelle. Bahkan Eve tak bersedia melihat wajah Anabelle bahkan tidak juga mau tau nama Anabelle. Marc menengadah ke atas, sambil mengerjap-kerjapkan matanya.

“ Mau sampai kapan kau di situ marc?” tanya Eve membuyarkan lamunan Marc.


“Aku sedang memuaskan diri memandangmu...” jawab Marc singkat dan getir.


Hati Eve berdesir mendengar jawaban Marc. Tidak bisa dipungkiri Eve mencintai laki-laki itu. Tapi hidup adalah sebuah pilihan. Jika ia memilih Marc maka akan ada hati yang tersakiti yaitu Ayah dan ibunya, orang yang sangat penting dalam hidup Eve.

Eve segera menepis bunga-bunga dihatinya.

“Lebih baik kau bantu aku berkemas, aku sudah terlalu lama meninggalkan Belanda, aku harus segera mengejar kuliahku yang tertinggal. Kuharap kamu bisa mengerti dan komit dengan janjimu untuk mendukungku menyelesaikan kuliah” ucap Eve datar, berusaha menutupi kegalauan hatinya.

Marc berjalan gontai mendekati Eve, kakinya seperti dibebani dengan bola besi yang berat.

“Eve, kau baru 2 hari melahirkan, aku khawatir kau belum pulih, apa tidak sebaiknya di tunda seminggu lagi?” pinta Marc

Raut wajah Eve meradang “ Marc,....apalagi rencanamu untuk menahanku di sini?”

Marc tertunduk lesu, “baiklah terserah kau saja....” lalu tanganya meraih tas Eve dan membawanya keluar. Eve mengikutinya dari belakang.

Marc duduk dibelakang kemudi tatapannya lurus ke jalan, namun sebenarnya pikirannya tidak tertuju ke jalanan itu. Pikirannya menerawang jauh, membayangkan saat itu mereka dalam mobil menuju rumah, bukan airport. Pasti rasanya sangat membahagiakan, jika saat itu ia mengemudikan mobil ke rumah dan Eve disampingnya menggendong Annabelle. Menuju cervera, tinggal di rumah di atas bukit yang Marc bangun dengan uang hasil kerja kerasnya, sebuah istana mungil di atas bukit.

Mereka berdua membisu dengan pikiran masing-masing. Eve sesekali melirik Marc melalui kaca spion tengah. Setiap menatap wajah Marc, rasanya Eve ingin waktu berhenti berputar. Eve menyadari dirinya mencintai Marc, dan meninggalkan Marc sama seperti menyayat hatinya sendiri. Tetapi saat ini Eve tidak memiliki pilihan yang lebih baik selain meninggakan Marc, merahasikan bayinya, meski bukan pilihan yang menyenangkan Eve, tapi itulah yang terbaik menurut Eve saat ini.

"Eve!!" panggil Marc saat eve akan memasukki koridor keberangkatan. Eve menghentikan langkahnya sejenak kemudian Marc segera meraih tubuh Eve. Memeluknya erat

"Marc...aku pergi, kuharap kau memenuhi janjimu" ucap Eve dengan air mata yang kini sudah membanjiri wajahnya

Mereka saling berhadapan dalam pelukan, tertunduk dengan kening yang saling menempel. Marc meletakkan kedua belah jemarinya di rahang Eve.

"Eve, aku mencintaimu, aku berjanji akan selalu mencintaimu, bahkan ketika tak satupun manusia di dunia ini mengerti dan mencintaimu, aku satu-satunya orang yang selalu mencintaimu dengan mengerti tentangmu Eve, kedengarannya mungkin berlebihan. Tapi hatiku sudah memutuskan untuk mencintaimu. selamanya. pergilah eve, semoga studimu dan cita-citamu tercapai. terimakasih untuk bayi mungil yang kau berikan untukku..."


Marc melepas kepergian Eve di airport barcelona, separuh hatinya ikut terbawa saat Eve meninggalkannya. Eve melambaikan tangan untuk yang terakhir kalinya ke arah Marc. Tak sanggup menghadapi perpisahan ini, Eve membalikan badannya dan mempercepat langkahnya. Marc hanya bisa menatap punggung Eve dari kejauhan dan kemudian menghilang di antara banyaknya pengunjung bandara yang lain. Selamat jalan Eve....desah hati Marc. Eve menangkupkan kedua belah telapak tangan di wajahnya, hatinya seperti dirajam sembilu ketika ia harus mengucapkan “ selamat tinggal marc....”



***

LONDON, 2020


Pagi itu Annabelle mogok sekolah, ia memeluk kedua lututnya erat-erat. Ia menitikkan air mata ketika Marc mendekatinya dan membentak, "Jangan menangis!"

Marc bukan membenci bocah itu, ia hanya ingin Anabelle tumbuh menjadi gadis kecil yang kuat dan tidak cengeng.


Annabelle segera mengusap air mata dengan kedua tangan kecilnya sambil terus menunduk, namun ia berani menjawab, "Hari ini Mother’s day. Teman-temanku datang dengan ibunya. Dan hari ini semua murid harus membacakan sebuah puisi untuk ibunya."

Marc menahan nafasnya yang mendadak terasa sesak menghimpit paru-parunya. Ia pun mati kata! Marc menengadahkan wajahnya ke atas menatap langit langit, ingin ia teriakkan nama Evelynne sekeras-kerasnya. Anabelle berdiri berjalan menuju meja belajarnya dan menyodorkan selembar kertas putih kepada daddy-nya. Marc terperanjat



“Buatkan aku puisi, baru nanti daddy boleh mengantarku sekolah...”

Marc membelai lembut rambut Annabelle yang berkucir dua, kucir dua yang tidak simetris, sejak dulu seperti itu dan Annabelle tidak pernah memprotesnya. Bahkan seringkali ia bangga mengatakan “ ini daddyku yang buat, daddy paling hebat sedunia”


Sejak kecil sejak dia bisa memilih, Annabelle tidak mau orang lain mengucir rambutnya bahkan neneknya sendiri. Cumma daddy-nya yang boleh, Marc Marquez si juara dunia motoGP yang sampai saat ini masih tak terkalahkan.

Marc merasa bersalah membentak Annabelle tadi, seharusnya ia memahami sedihnya hati putri tunggalnya itu, mendapat tugas membuat puisi tentang ibu, ibu yang tidak pernah sekalipun ia lihat bahkan hanya sekedar nama-pun ia tidak tahu.

Marc mengangkat tubuh mungil Annabelle, mengecup keningnya lalu merengkuh dalam pelukannya. ‘ Maafkan daddy, sayang....kau mau kan maafkan daddy?”

Annabelle mengangguk, bocah itu tumbuh menjadi gadis kecil yang pemaaf. Marc menghela nafas lega, di ciumnya kembali Annabelle kali ini di kedua pipinya yang montok dan kemerahan.

“tapi bagaimana dengan puisi itu, bu guru Daniella pasti akan menghukumku” rajuk Annbelle dengan nada memelas.

“sayang, hari ini kau boleh libur sekolah, nanti daddy yang akan menelfon bu Daniela...hari ini kita akan jalan-jalan ke disney land....kau mau? “ tanya marc seraya menempelkan dahinya ke dahi Annabelle

Annabelle mengembangkan tangannya lalu mengalungkan ke leher Marc “ kapan?”

“sekarang” jawab marc sambik menaikan alisnya dan tersenyum lebar

“sungguh sekarang? Daddy becanda?” Annabelle membelalakkan matanya

“ daddy serius...” jawab Marc sambil mengecup kening putri tercintanya

“aaaaaaa daddy...i love you” kemudian ciuman kecil bertubi-tubi mendarat di seluruh wajah Marc.



Sudah lama Marc ingin membawa Anabelle bermain ke Disneyland paris.



****

Disneyland, Paris



Sejak kepergian Evelynne, Annabelle lah sumber kekuatan dan semangat hidup Marc. Rasanya baru kemarin Marc menggendong Annabelle kecil, bayi kecil yang mungil dan cantik. Kini Annabelle berusia 5 tahun, ia tumbuh sempurna pintar dan aktif. Menatap wajah Annabelle membuat Marc teringat Evelynne. Bocah itu mewarisi bibir dan garis wajah ibunya. Marc bersyukur Annabelle tidak mewarisi bentuk bibirnya.


“Daddy, siniii !!!” teriak Annabelle sambil menjepit kedua kakinya

“kenapa sayang?” tanya Marc

“Aku mau pipis?”

Mata marc memindai sekeliling hingga ia temukan petunjuk arah toilet, segera ia comot Annabelle dan membawanya lari.

“kau masuk sendiri yah, anak pintar kau kan sudah lulus toilet class..daddy menunggumu di sini, okay?”

Marc menunggu Annabelle di sisi luar toilet wanita. Hal ini yang seringkali membingungkan marc jika hanya pergi berdua dengan Annabelle, tentu tidak mungkin membawa Annabelle ke toilet pria, dan juga tidak mungkin Marc menemani Annabelle ke toilet wanita.

Lumayan lama marc menunggu, Annabelle tidak juga muncul, ia mulai khawatir Annabelle mendapat kesulitan di dalam sana.


#didalam toilet

Annabelle berusaha menahan rasa ingin pipis dengan kedua tangannya. Toilet antri. Ia ingat pesan Marc untuk tidak melanggar antrian.


“hai cantik, kamu mau pipis? Apa kamu tidak memakai pampers?’ tanya salah satu pengunjung

Annabelle menggeleng “ usiaku 5 tahun, aku tidak pernah menggunakan pampers sejak usia 3 tahun. Aku sudah lulus toilet class tante..”

“wahhh hebattt, omong-omong kamu sendirian?”

Annabelle mengangguk.

“ternyata kamu bukan cuma pintar tetapi juga pemberani! Sebagai hadiahnya kau boleh duluan pipis...” wanita cantik itu menyilahkan Annabelle mendahului antriannya. Tanpa menunggu aba-aba, Annabelle langsung melesat.



10 menit kemudian

“ daddyy.....” teriak Annabelle sembari berlari ke arah Marc. Marc berjongkok sambil membuka tangannya menyambut tubuh kecil Annabelle masuk dalam pelukannya.

“ lamaa sekali, daddy khawatir “ rajuk Marc sambil mencolek ujung hidung Annabelle.

Annabelle hanya meringis memamerkan deret giginya yang mungil tertata rapi. Siapapun yang bertemu Annabelle begitu mudah jatuh jatuh cinta. Anak itu penyayang dan perhatian. Sekali saja marc tidak membawa Annabelle ke paddock semua akan bertanya, padahal sebenarnya Marc khawatir terhadap kesehatan pendengaran Annabelle, karen suara deri mesin di sirkuit terlalu keras untuknya.

“daddy, tadi ada tante baik hati yang memberikan antriannya untukku..’

“oh yaaa?”

“Iya, turunkan aku, aku mau mengucapkan terimakasih dulu, tadi aku lupa”

Marc menurunkan Annabelle dari gendongannya, bocah kecil itu segera berlari menuju toilet untuk kedua kalinya. Tak berapa lama Annabelle sudah muncul kembali

“Daddy...aku tak menemukan tante tadi” ucap Annabelle dengan wajah sedih, bibirnya mengerucut. Menggemaskan sekali melihatnya seperti itu

“sayang,...mungkin tante itu sudah pergi...jangan bersedih, ayok kita lanjutkan bermain atau mau makan es krim?” hibur Marc

Annabelle menyentuh pipi marc dengan kedua tangan mungilnya kali ini sogokan es krim tak berlaku, raut wajahnya masih sedih “ dad...aku ingin punya mama....di mana mama? Apakah ia masih hidup dad?”

Marc tertunduk lesu, dibiarkannya tangan mungil Annabelle hinggap di wajahnya. Annabelle lalu membelai alis tebal marc, memainkan bulu mata marc.

Itu adalah permintaan Annabelle yang paling sulit di wujudkan. Hingga hari ini pertemuan dengan Evelynne tak kunjung terjadi

“daddy,...maafkan aku.. Daddy jangan bersedih.... “ rengek Annabelle berurai airmata

Marc menatap wajah Annabelle, menghapus air mata bocah itu dengan kedua ujung ibu jari tangannya. Annabelle melakukan hal yang sama ke Marc.

“dengarkan daddy, daddy akan memberitahumu saat usiamu nanti 17, kau mengerti anak manis?” ucap Marc dengan suar aberat dan bergetar menahan gejolak kesdihan yang dalam.

Annabelle memainkan jarinya, menghitung berapa lama lagi waktu yang disebutkan Marc tadi akan tiba. Jadi masih 12 lagi ya dad?”

Marc tersenyum ringan sekejap saja Annabelle sudah bisa membuatnya tersenyum dengan kepolosannya.




Diraihnya kepala bocah mungil itu ke dalam pelukannya. "terimakasih eve, kau memberikanku putri cantik dengan hati malaikat, semoga kita bisa berkumpul suatu hari nanti..." ucap marc dalam hati pada dirinya sendiri. Sementara di kejauhan sepasang mata mengamati mereka berdua.




6 komentar:

  1. Ketika Marc harus melepas kepergian Eve. Ketika Annabelle menanyakan sosok ibu. Ketika sepasang mata mengamati mereka. Eh, itu siapa yaa? Eve kah yang tiba-tiba datang kembali? *sok tau,hehe* ._.

    BalasHapus
  2. Hehe ceritanya bagus kak,lanjutin ya kak, cepet di post juga.

    BalasHapus
  3. Thanks adelia utk apresiasinya
    It really mean to me
    Next story will uploaded soon
    Hahahaha

    BalasHapus
  4. sedih banget pas baca scene marc sama annabelle. aku sampe nangis beneran looh. sumvahh!!
    kasihaaaan..

    BalasHapus