Selasa, 10 Juni 2014

The Rest of My Life #part2

Dear

Readers yang cantik-cantik. Yakin banget nggak ada reader cowok, karena biasanya cowok ga suka baca FF. Kalo sekarang ada cowok yang lagi baca pasti senyum senyum nih baca pengantar author dan menahan diri untuk ngga komen hahahay.

Oh iya please kindly to realize this is just fan fiction not reality, it just my imagination story about someone i love the most, yah kalian pasti tau siapa orangnya


and the story is continuing...

Mawar merah jambu ini tumbuh di sekitar makam mama


Padahal baru empat hari tidak ke makam mama, tapi rasanya seperti setahun. Beberapa hari ini setiap pagi cervera di guyur hujan, akibatnya rutinitas pagiku terganggu. Hari ini hari selasa, aku bersyukur pagi ini tidak hujan.

Meski tidak hujan tapi kondisi jalanan menuju ke makam menjadi tak begitu baik akibat banyak kerikil yang tergerus hujan kemarin. Aku harus lebih hati-hati, meski aku tau usiaku mungkin tidak lama lagi tapi aku tidak ingin mempercepat kematianku dengan terjungkir dari kursi roda karena teledor. 

Aku mendengar suara suara aneh di belakangku, sepertinya ada yang sedang mengikutiku. Aku menoleh. Kosong. Sepi. Tidak ada siapa siapa. Aku kembali melajukan kursi rodaku dan suara itu terdengar lagi. Sudahlah, pikirku selama tidak menganggu biarkan saja. Apa yang harus aku khawatirkan. Kata bibi Carlotta di Cervera ini aman, bahkan ada satu toko pakaian yang tidak dijaga pemiliknya. jadi si pembeli memabyar dan mengambil kemablian sesuai harga barang dalam kotak uang yang digeletakkan begitu saja di toko itu. Kalau tidak ada kembalian tinggal di catat saja namanya. Besok hari si pemilik toko akan mengantarkan sisa uang kembalian yang kurang. 

Akhirnya kuabaikan saja suara itu, mungkin orang yang penasaran denganku yang selalu rutin ke makam dan betah berlama-lama di makam. Mungkin mereka menyangka aku pengikut ilmu sesat. Aku jadi tersenyum senyum sendiri membayangkan seandainya memang benar mereka perpikir seperti itu.

Aku mengamati makan mama dan nenek yang sudah 4 hari tak kukunjungi, kemudian mataku terhenti pada bunga berwarna pink. Meski dari kejauhan tapi aku yakin itu adalah mawar. Mawar merah jambu yang mekar dan beberapa kuncup yang belum mekar, sangat mencolok di antara hamparan rumput hijau. Sejak kapan ada pohon mawar di sini, seingatku sepanjang yang kulihat hanya warna hijau. Atau mungkin selama aku datang ia belum berbunga dan baru berbunga setelah beberapa hari diguyur hujan. Pikiranku sibuk dengan berbagai kemungkinan, monolog.

Entah mengapa semakin lama kutatap mawar itu, seakan mawar itu berkata " bawa aku pulang bersamamu...". Letaknya tidak bisa dijangkau dengan kursi roda karena harus melewati batu nisan mama dan nenek. Aku mencoba berdiri, sebetulnya ini sangat dilarang, dokter membolehkanku berjalan hanya jika di sekelilingku ada orang. Tapi kali ini, mawar itu benar-benar menggodaku untuk kupetik. Kakiku terasa ringan melangkah, mungkin sekitar sepuluh langkah aku berjalan, hingga mawar itu benar benar bisa kupetik. Aku duduk bersimpuh di hamparan rumput itu, pohon mawarnya masih kecil. pantas saja selama ini aku tidak menyadarinya. Aku memetik satu bunga yang sudah mekar sempurna. kelopaknya masih basah oleh embun pagi. Indah sekali! Aku menciumnya berkali kali sambil tersenyum, wanginya lembutnya membuatku ketagihan.

Aku masih memejamkan mata sambil mencium mawar merah jambu itu, ketika tangan seseorang menyentuh pundakku. Aku terkaget tak bersuara, menahan nafas, bahkan mawar yang sedang kupegang jatuh ke pangkuanku. Beberapa detik bahkan aku tidak berani menoleh.

"Hey...sedang apa kau di sini?" terdengar suara bersahabat menyapaku. Aku menghela nafas lega. Si pemilik suara itu ikut duduk di sampingku. Aku beranikan diri untuk menoleh. Astaga !! senyum itu mengingatkan aku pada senyum Marc. Gigi rapi dengan bingkai bibir tebal berisi. Hari ini marc tidak mengenakan helm dan kaca mata hitam. Dia berpakain olah raga biasa. Sepertinya dia baru jogging. Rajin sekali berolah raga, bathinku. Kalau kutebak mungkin usianya tidak berbeda jauh denganku. 

"eh...kok melamun? " Tanya Marc sekali lagi

"ehmmm,.." aku kesulitan menelan ludah karena kaget. " iya, aku suka bunga ini" jawabku kaku. Aku meraih mawar yang tergeletak di pangkuanku dan mengacungkan ke arah marc.

"Kau memetiknya di sini?" tanya marc sambil menunjuk tanaman di depannya.

Aku mengangguk sambil tersenyum. Entah mengapa sikap Marc yang bersahabat ini membuatku merasa lebih aman. 

"Oh iya, waktu itu kita belum berkenalan, aku marc dari keluarga marquez, yang kemarin bersamaku itu adikku Alex dan sahabat kecilku Tito. Namamu siapa?" marc mengulurkan tangannya mengajak berjabat tangan.

Aku menyambutnya, kupindah mawar di tangan kananku ke tangan kiri "Namaku Ilona Rosquez, aku baru sebulan di sini. Tinggal bersama bibi Carlotta dan paman Alzamora.  Ini makam mamaku, Mayla Alonso dan sebelahnya makam nenekku" kataku sambil jariku menunjuk batu nisan mama dan nenek.

Marc mengangguk-anggukan kepalanya, matanya yang lekat menatapku, membuatku kikuk. Sorot matanya tajam bahkan sampai terasa ke jantungku.

"Oh kau keponakan dari istri paman Alzamora?"  Marc merespon dengan antusias keteranganku tadi.

"Iya betul, aku sebelumnya tinggal di madrid"

"Oh iya, mana bibi Carlotta?"

"di rumah, aku ke sini sendiri tadi...'

Marc mengernyitkan dahinya "Sendiri? Lalu bagaimana caramu sampai ke sini?"

Aku menoleh ke belakang "Pake kursi roda seperti biasa....."



Aku tertegun saat menoleh ke belakang, kursi rodaku tidak ada. Aku mengucek mata, memastikan aku tidak salah lihat. benar-benar raib!!

"tadi di situ, ahhh bagaimana caraku pulang? kursi rodaku dicuri orang kah?" aku mulai panik. "aaah siapa sih yang iseng mencuri kursi roda?" tanyaku dalam hati. tiba tiba aku curiga marc yang menyembunyikannya, lalu berpura pura baik. Aku menatapnya penuh selidik.

"Kenapa, kau melihatku seperti itu? Kau sedang tidak berfikir bahwa aku yang menyembunyikannnya kan?" Tanya Marc, sekan bisa membaca isi kepalaku. Aku jadi tidak enak.

"ehmmm tidak, bukan begitu...." kilahku.

Tiba-tiba kursi roda yang kucari muncul dengan seorang laki-laki tengah riang mengendarainya.  "HAHAHAHA...enak juga naik kursi roda, ada mesin elektriknya  pula...horeeeee bisa ngebutttt HAHAHA" teriak laki-laki itu

Aku dan Marc langsung menoleh, Marc terlebih dulu bangkit dan berteriak " Alex, kembalikan kursinya..."

Aku menyusul bangun dari dudukku, aku berdiri sambil tanganku bertopang pada batu nisan. 

"Lihat Marc, dia tidak lumpuh...dia bisa berdiri sendiri bahkan bisa berjalan aku pernah melihatnya berjalan, kau tidak percaya...hahaha" Ucap laki-laki yang dipanggil Alex itu, aku masih ingat nama itu sebab baru 5 menit lalu Marc mengatakannya. "Childish sekali adiknya.." makiku dalam hati.

"Alex!!! kembalikan heyyy mau di bawa kemana?" teriak marc kali ini sudah ada bumbu emosinya, Alex tak menanggapi, ia kabur bersama kursi rodaku. Marc mengejarnya. Aku menunggu dengan resah. Tak sampai 5 menit Marc kembali dengan tangan kosong, kurasa ia gagal membuat adiknya mengembalikan kursiku. Aku tertunduk pilu, aku tau aku tidak mungkin pulang berjalan kaki.  "beginikah rasanya jadi orang cacat, menjadi bahan olok-olok" sesalku pilu dalam hati.  Wajahku rasanya panas, juga mataku, suasana ini membuatku ingin menangis. Aku tetap menunduk dalam, aku tidak ingin marc mengetahuinya.

"Eh, Ilona maafkan adikku ya?, dia sebetulnya anak baik hanya saja kadang becandanya kelewatan  " ucap Marc membela adiknya.

Aku masih menunduk. Mungkin Marc penasaran mengapa aku terus tertunduk, ia berjongkok di depanku lalu menengadahkan wajahnya. Menatapku. Aku tidak bisa menghindari tatapan matanya. Aku juga tidak bisa lagi menyembunyikan air mataku. 

"heiii....kau menangis rupanya? tenanglah, aku bisa mengantarmu pulang...jangan khawatir..." hibur Marc. Aku tidak tau bagaimana menjelaskan kondisiku, aku juga tidak tau apakah perlu menjelaskan atau tidak. Aku tidak punya pilihan, kecuali mengikuti langkahnya. "Tuhanku yang baik, kuatkan kakiku..." doaku dalam hati.

Baru sekitar 5 menit berjalan, kekhawatiranku terjadi. Tiba-tiba aku merasakan kakiku tak dapat lagi kukendalikan untuk bergerak, sama seperti pertama kali saat aku terjatuh di pentas balet ketika akan melakukan gerakkan  normal pirouette, tiba tiba aku tersungkur. Kini terjadi lagi, aku tersungkur daguku mendarat lebih dulu di atas paving blok jalanan yang sedang kami lewati. Marc terlambat menangkap tubuhku.  

Seketika darah segar mengucur dari daguku, aku belum merasakan perih. Yang kurasakan pertama adalah ada cairan hangat mengalir ke leherku. Ketika kusentuh kemudian kulihat tanganku merah semua. Marc panik, dia langsung melepas kaosnya untuk menyumbat perdarahan di daguku. Marc menopangku duduk sambil menyangga kaos di daguku. Aku benar benar pusing. Bukan karena benturan tadi. Tapi aku phobia melihat darah. 

Marc kebingungan " Maafkan aku ya, seharusnya tadi menggandengmu, aduh darah di dagumu banyak sekali...uhhh eeh kakimu ? apa kakimu terkilir? sakit tidak?"

Aku ingin menjawab pertanyaan Marc, tapi marc tanpa sadar menopang daguku terlalu kuat karena bermaksud menutup luka perdarahan di dagu, rahangku jadi tidak bisa bergerak. Aku tak menjawab. 

Tanpa menunggu jawabannku, Marc segera menggendong tubuhku.  Aku pasrah dalam gendongan Marc. Pipiku sedikit menempel di dadanya yang telanjang dan berkeringat. Bahkan aku bisa mendegar detak jantungnya. Mungkin tubuhku terlalu berat apalagi jalanan menanjak. Nafas Marc mulai tersengal-sengal. Bahkan hembusan nafasnya sampai menerbangkan helaian rambutku yang menjuntai di wajahku. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa selain hanya bisa pasrah seperti ini. Dalam gendongan laki-laki yang baru kukenal beberapa menit yang lalu. Keringat semakin membasahi tubuhnya yang juga ikut membasahi sebagian pipiku yang menempel ke dadanya, aromanya mungkin tidak sama dengan kelembutan wangi mawar yang kupetik tadi, tapi sama-sama membuatku ketagihan. Untuk yang terakhir ini aku tidak dapat menjelaskannya kenapa.

"Ya Tuhan, jangan biar aku jatuh cinta dengannya "ucapku lirih

"Ehh kau berdoa ya? Tenang lah luka di dagu tidak akan membuatmu meninggal " ucap marc dalam sela sela nafasnya. 

"ehmm, tidak ..." aku tak meneruskan kalimatku, kali ini nyeri luka di dagu mulai terasa ketika aku menggerakkkan rahangku. Aku memejamkan mataku menahan sakit.

Lalu terdengar teriakan panik bibi Carlotta " Ya Tuhannn, Ilona...Marc apa yang terjadi??"

Aku membuka mataku kulihat bibi carlota tergopoh berlari ke arah kami, di belakang bibi Carlotta kulihat Alex mengikuti sambil mendorong kursi rodaku.

'Maafkan saya, bibi carlotta, ini semua tidak sengaja..." lalu pandangan Marc eralih ke Alex " Alex bawa kemari kursi rodanya, cepatt..! teriak Marc. ditelingaku suaranya terdengar lebih keras bahkan getar getar emosi pun kurasakan, karena telingku menempel di dadanya. Entah mengapa ada perasaan senang menjalar dalam diriku ketika dia meradang pada Alex karena ulah jahilnya membawa kabur kursi rodaku.

Marc mendudukanku di kursi roda, kemudian Marc berlutut di hadapanku lalu berkata  " tenanglah...luka di dagumu itu tak akan mengurangi kecantikanmu 1% pun...".  Marc  menghapus pipi kiriku yang basah oleh keringatnya tadi. Telapak tangannya kasar sekali, sepintas kulihat kulit telapak tangannya kering dan terkelupas. Padahal papa dan paman juga laki-laki tapi tangan mereka tidak kasar seperti itu.

Aku tersenyum, meski Marc tak melihat senyumku karena sebagian bibirku terhalang kaos yang kupegang untuk menutup luka berdarah di daguku. Aku menoleh ke arah Alex kulihat ekspresi rasa bersalah di wajahnya. "Mungkinkah bibi Carlotta sudah menceritakan pada Alex tentang penyakitku?"

Kami sampai di rumah bibi Carlotta, tepat saat paman Alzamora baru saja memarkir mobilnya, dia baru kembali dari klinik tempat ia praktek pagi.

Paman Alzamora merawat lukaku, syukurlah hanya perlu satu jahitan. Daguku nampak lebih panjang karena bengkak dan ditempeli perban.  Marc menunggu di samping tempat tidur, sementara Alex kudengar sedang berbicara dengan bibi Carlotta di luar. Entah apa yang mereka obrolkan, aku tak begitu mendengar. Selesai merawat lukaku paman Alzamora keluar kamar. Kini hanya aku dan marc.

Marc menarik kursinya lebih dekat ke tempat tidurku. Semakin ia dekat jantungku semakin berdetak kencang. Sepanjang usiaku 15 tahun 2 bulan ini, aku belum pernah seperti ini. Bagaimana mungkin jantungku menjadi lebih cepat berdetak ketika Marc semakin dekat. jantung mempompa darah semakin cepat hingga wajahku memerah, aku merasakan pipiku hangat.

"Eh kok, pipimu merah...ayolah tidak usah malu, aku tak akan mengolokmu seperti Alex, dia itu terkadang jahil..." ucap marc memecah suasana. Marc tersenyum manis sekali, giginya rapi dan bibirnya merekah. Melihat Marc tersenyum tanpa kusadari bibirku sudah membentuk senyuman dan aku baru sadar ketika aku merasa sakit di dagu ketika menarik bibirku untuk tersenyum lebih lebar. Aku tersenyum tipis. 

Aku tidak tau harus menanggapi bagaimana pertanyaan Marc tentang pipiku yang memerah. Alex muncul bersama bibi carlotta

Alex mengulurkan tangannya " Aku minta maaf karena ulahku tadi, namaku Alex, aku adik Marc, ehmm aku akan memperbaiki kursi rodamu juga..."

"Kursi rodaku rusak?? tapi tadi masih bisa digunakan...." sanggahku

"Elektriknya yang rusak, tadi aku menariknya terlalu kuat..." jawab Alex sambil memiringkan bibir bawahnya. Tampak Alex begitu gugup

Aku tidak enak mau marah pada Alex karena Marc sudah begitu baik padaku.

"Ehmm, tidak apa-apa. Masih bisa digunakan secara manual " Jawabku agar Alex tak terlalu merasa bersalah lagi pula dia berjanji akan memperbaikinya.

"sementara fungsi elektriknya masih rusak, alex yang akan mengantarmu jalan-jalan pagi ke makan nenek, jadi kamu masih tetap bisa ke makam..." ucap bibi Carlotta. Rupanya pembicaraan bibi Carlotta dan Alex tentang negosiasi pertanggung jawaban alex terhadap rutinitas pagiku yang jadi terganggu akibat tuas elektrik kursi rodaku ia rusakkan.

@@@@@


Aku masih belum selesai makan, ketika bel rumah berbunyi. Sesuai perjanjian kemarin, setiap pagi jika tidak hujan Alex mengantarku ke makam. Untunglah bukan Marc, bisa-bisa jantungku jebol jika aku lama-lama ada di dekatnya. Entahlah, ada hantu cinta dalam diriku sepertinya, menakutiku. Hantu itu menjadi semakin besar setiap kali aku bertemu dengan marc. Yah, aku harus melawan perasaan itu, aku tidak boleh jatuh cinta, aku harus tau diri, jika aku hanya seorang gadis remaja yang sedang menunggu kematian.

Bibi carlotta yang sedang membereskan meja makan bergegas membukakan pintu. Aku segera menyelesaikan suapan terakhir. Minum obat, lalu menyusul ke ruang tamu.

Sapaan hangat menyambutku ketika aku sampai di ruang tamu " Pagi ilona...sudah siap? "

Aku tercekat, Bukan Alex tapi Marc yang datang. "Oh Tuhan,,,," 

Marc berjalan menghampiriku dengan senyuman terindahnya. 
I can't escape to not falling in love with you

   to be continued...

and thanks for reading gals...love you..
      

4 komentar:

  1. nice :) TOP banget!
    ditunggu lanjutannya~

    BalasHapus
  2. Buat anonim whoever you are
    Thanks for the nice comments
    Keeo up date at my fan fiction zone

    BalasHapus
  3. Aaaaa,,, telat baca :( ,,tapi bruntung masih bisa baca,, kereeenn kak,, next next next ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nisa...keep calm and follow my ff hehe...kk lg hectic jd sabar yah

      Hapus