author POV:
Sejak insiden pembajakan kursi roda oleh Alex lalu Ilona terjatuh, menjadi semacam benang merah yang menyatukan alur cerita hidup Ilona dengan Marc. Marc merasakan ada sesuatu dalam di Ilona yang membuatnya tertarik, masih tidak mengerti apakah sesuatu itu. Mungkin karena Ilona tidak mengejar ngejarnya? Kecantikan ilona? Wajahnya ayu, tapi jika wajah ayunya saja mengapa marc tidak memiliki perasaan yang sama pada Lara, Sara maupun Angelika para model papan atas yang seringkali berpasangan dengan dirinya. Pusing mencernanya. Marc hanya mengikuti kata hatinya. ilona. Nama yang unik bagi Marc. Ketika pertama melihatnya membuat Marc ingin melihat untuk kedua kalinya. Namun ketika marc melihat ilona untuk kedua kalinya membuat dirinya ingin melihatnya untuk ketiga kalinya. Begitu seterusnya. Ilona seperti zat adiktif yang membuatnya selalu ingin lagi dan lagi. Kesepakatan mengantar ilona jalan jalan pagi sebagai konsekuensi rusaknya kursi rodapun dengan suka hati ia ambil alih dari Alex. Dengan senang hati Alex memberikan, bahkan karena hal itu Alex menganggap Marc kakak yang luar biasa baik. Dan penantian perjumpaan dengan ilona menjadi lebih menarik ketimbang race motogp yang dulu sangat dinantinya. Semua menjadi biasa saja kecuali ilona. Obrolan ringan dengan ilona menjadi hal luar biasa meski hanya membicarakan kupu-kupu kuning yang warnanya tidak simetris. Atau membahas tentang semut yang selalu bersalaman setiap kali ketemu. Atau bunga liar sepanjang jalan yang dulu sering terinjak oleh marc saat jogging. Bunga itu menjadi luar biasa indah saat Ilona yang mengatakannya.
" marc....kau tau sejak kecil aku suka sekali bunga, apapun bahkan bunga seperti ini yang tumbuh liar, jika kau perhatikan dengan seksama dari dekat, ia indah sekali" kata ilona sambil menyodorkan bunga liar di tangannya.
Marc menerimanya, lalu mengamatinya. Benar! Bunga itu indah ketika benar benar diamati. Sejak saat itu mendadak marc menjadi pencinta bunga, di manapun saat melihat bunga marc teringat Ilona.
Obrolan ringan dan sepele yang tercipta yang tidak menonjolkan tentang siapa diri. Bukan karena siapa marc dan siapa ilona.
@@@@@@
Ilona POV
Sudah hampir 2 minggu marc tidak datang, alex juga sama, 2 orang itu seperti hilang diculik alien. Belum pernah selama ini Marc menghilang. Sebenarnya aku ingin bertanya pada bibi carlotta tapi aku malu. Bibi carlotta pasti akan menggodaku jika aku bertanya tentang mereka. Hari dan minggu terasa lambat berjalan tanpa marc. Biasanya hanya menjelang weekend saja dia tidak datang. Entah apa yang dia lakukan setiap weekend. Mungkin dia menghabiskan waktu bersama kekasihnya. Aaahh bodohnya aku!! Benar saja setiap week end dia tidak ada. Aku benci kenapa aku harus bertemu dengan marc! Aku benci kenapa marc harus sebaik itu pada gadis cacat seperti ku. Tidakkah ia tau itu hanya akan menyakitiku? Memberi harapan kosong. Fatamorgana!!
Perlahan pandanganku kabur seperti kaca mobil yang tersiram air hujan. Aku termenung di atas kursi rodaku menghadap jendela. Di luar sana hujan. Hujan, membuat kesedihanku sempurna. Atau mungkin ini cara Tuhan membuatku lebih siap meninggalkan dunia? Ketika tidak ada lagi alasan untukku tetap bertahan di dunia ini. Mungkin.
Papa. Sudah lama papa tidak menengokku. Kudengar dari bibi Carlotta karir papa semakin maju sehingga papa makin sibuk karena harus sering pergi ke New York. Papa masih muda, dan tampan. Pasti banyak wanita di luar sana yang ingin menjadi istri papa, tapi pasti mereka tidak ingin memiliki anak tiri pesakitan seperti ku. Ya! Aku hanya menjadi penghalang kebahagiaan papa. Maka lebih baik aku ini tidak ada, jadi papa tidak perlu repot mencari wanita pengganti mama yang mau menerimaku.
"Ilona....lihat bibi bawakan ocha hangat kesukaanmu..." suara bibi Carlotta memecah suasana haru biru hatiku pagi itu. Aku tidak segera menengok. Cepat kuhapus air mata yang sedari tadi membanjiri wajahku. Arghh tapi tanganku rasanya lemas..dan....terlambat!! Bibi Carlotta mendapatiku menangis.
"Ehh ilonaa, kamu menangis?? Sayang jangan nangis...ayo ceritakan padaku..ada apa?" Tanya bibi Carlotta dengan wajah khawatir.
"Ehmmm...tidak apa apa..mungkin karena hujan jadi..aku terbawa suasana" jawabku bohong, tapi aku tak terlalu pandai berbohong.
"Ayolah jujur pada bibi....ada apa?" Bibi carlotta benar benar tak percaya.
"Ehmmm..tidak aku cuma kangen sama papa" jawabku akhirnya.
Terlihat ekspresi lega di wajah bibi carlotta.
"Tenanglah ...baru bibi mau kasih kabar...besok ayahmu datang, dia juga kangen berat sama gadis semata wayangnya..." ucap bibi Carlotta sambil mengusap sisa air mataku dengan punggung tangannya.
"Ahh...betul bi? Aky senang sekali..." pekikku. Sejenak mendung kesedihan tadi tergusur oleh kabar tentang kedatangan papa.
"Nah gitu cantik...senyum doong..bibi lega melihatmu tersenyum begitu. Oke bibi mau ke klinik paman Emilio dulu ya...pamanmu itu lupa tidak membawa ponselnya. Bibi cuma sebentar. Kamu jangan ke mana mana ya..., tehnya di meja yah...sekarang bibi pergi dulu..."
Selepas bibi carlotta menghilang bersama deru mesin mobil yang dikendarainya, rumah kembali sepi. Aku benar-benar sendiri. Rasanya hujan hujan begini minum ocha pasti enak. Aku raih segelas ocha buatan bibi carlotta yang diletakkan di atas meja tadi.
"PRAAANGGG!!!!"
Gelas yang kupegang merosot dengan bebas ke lantai. Hancur serpihan kacanya berhamburan ke setiap sudut ruangan. Air ochanya menggenang di lantai. Tapi bukan itu yang membuatku panik. Ada hal lain yang membuatku lebih takut. Jemari tanganku kebas tidak bisa digerakkan dan terus menjalar ke pergelangan tangan lalu lengan. Kemudian aku merasakan nafasku mulai berat dan semakin berat. Aku seperti dihimpit benda padat dari ke dua sisi. Tubuhku tak dapat begerak dan semuanya gelap......
✏✏📝
Perlahan aku membuka mataku. "Pecahan gelas itu. Di mana pecahan gelas itu. Aku tidak mengenali ruangan ini. Ini bukan di rumah bibi Carlotta. Di mana aku?"
Mataku tak begitu jelas melihat karena cahaya terasa terlalu silau, semuanya serba putih. Sayup sayup kudengar suara "bip" yang teratur dan itu seirama detak jantungku. Otakku masih mencerna gambaran disekelilingku. Selang infus. Selang oksigen. Alat rekam jantung. Cat serba putih. Clue itu merujuk ke satu temoat. Aku di rumah sakit!
"Mengapa aku bisa ada di sini?" Tak ada seorangpun di kamar ini.
Kudengar suara langkah mendekat. Papa datang, kapan papa datang...sedari tadi pikiranku sibuk dengan tanda tanya yang terus bermunculan.
"Ilooo....akhirnya kamu sadar...nak. papa sangat khawatir. Maafkan papa yaa, akhir akhir ini papa terlalu sibuk padahal kamu memerlukan perhatian papa. Maafkan papa ya nak..." kata papa panjang lebar. Sebenarnya aku tidak peduli dengan kata kata papa, bagiku papa ada di dekatku sudah lebih dari cukup.
"Ngga apa-apa pa, papa ngga perlu minta maaf. Ilo ngga apa-apa. Oya pap kok papa udah di sini kata bibi carlotta papa baru datang 2 hari lagi?" Tanyaku susah payah. Aku tak begitu nyaman bicara karena masker oksigen yang menghalangi mulut dan hidungku.
Papa tidak menjawab pertanyaanku, ia merengkuhku dalam pelukannya. Lalu kurasakan pipiku basah, padahal aku tidak sedang menangis.
"Papa menangis?" Tanyaku takjub.
Papa lelaki tegar bahkan saat akhirnya mama meninggal ia tidak menangis. Apakah yang membuat lelaki setegar papa berurai air mata?
"Ilo...sayang...kamu koma selama 3 hari, bibi carlotta menelfon papa saat papa dari new York akan kembali ke barcelona. Bibi carlotta dan marc menemukanmu pingsan. Lalu mereka membawamu ke rumah sakit. MG itu menyerang otot-otot mu lagi. Papa harap kamu kuat. Papa akan mengusahakan kesembuhanmu. Kamu tetap semangat ya..."
Aku mendengarkan ucapan papa, jadi ternyata aku koma. Jadi MG ini memburuk lebih cepat dari yang kuduga. Aku coba gerakan jemariku. Kulihat bergerak sedikit. Memang gerakannya tidak seperti yang kumau. Aku sudah pasrah karena aku tau hal ini cepat atau lambat pasti terjadi. Air mata papa membuatku harus tegar, aku tidak ingin papa bersedih melihatku terpuruk. Air mata papa sangat berharga untukku. Membuatku sadar bahwa papa sangat menyayangiku, tidak seperti yang kupikir beberapa hari lalu bahwa papa akan menikah lalu melupakanku.
"Iya pap, ilo janji akan tetap semangat..." janjiku sambil tersenyum, meski papa tidak melihat senyumku karena terhalang masker oksigen.
"Oh iya selain papa juga ada seseorang yang lebih khawatir dari papa ternyata..., sebentar papa panggil ya...?"
Papa melangkah keluar. Hmm pasti bibi Carlotta, aku merasa bersalah membuatnya khawatir. Terakhir kuingat aku memecahkan gelas berisi ocha sebelum semuanya menjadi gelap.
Aku menoleh ketika sekilas bayangan masuk selepas papa keluar kamar tadi. Bukan bibi carlotta!
" marc?" Tanyaku lemah. Aku tidak mengira marc menjengukku. Diakah orang yang di maksud papa?
Marc mendekat, matanya lekat menatapku. Jemarinya yang besar dan telapak tangannya yang kasar menggenggam tanganku yang dingin. Tangan marc hangat. Dan kehangatan itu menjalar ke seluruh tubuhku, memberi kekuatan tersendiri yang tidak bisa di jelaskan. Entahlah saat marc ada di dekatku aku selalu merasa lebih baik.
"Ilona..., hmmm gimana sekarang? Apa yang kau rasakan? Sakitkah?" Tanya marc dengan ekspresi khawatir
Aku hanya menggeleng. Tenggorokan ku terasa kering. Mungkin karena selama tigaselama tiga hari belum terlewati air.
Kami hanya saling menatap. Tatapan mata marc membuatku ingin hidup seribu tahun lagi. Sungguh! Dan hatiku perih karena keinginanku itu mustahil. Bahkan mungkin saat ini malaikat pencabut nyawa sedang berkeliaran di dekatku, bersiap siap menekan tombol "off" untukku.
Seorang perawat datang mengantarkan minuman.
"Maaf tuan, nona ilona baru sadar dari komanya jangan dulu diajak bicara terlalu banyak..." perawat itu memperingati.
Kemudian perawat itu memberikanku minum dengan sendok sedikit demi sedikit. Cukup membasahi tenggorokanku yang kering.
Marc masih duduk di samping tempat tidurku dan memperhatikanku yang sedang disuapi air putih sesendok demi sesendok.
"Waktunya tidak sampai 5 menit ya tuan, setelah itu nona ilona harus istirahat" ucap perawat itu lagi pada Marc. Marc mengangguk sopan sambil tersenyum tipis. Tidak salah jika perawat itu memanggil tuan karena saat itu marc mengenakan kemeja biru muda dan celana hitam. Biasanya marc mengenakan jeans dan kaos. Tapi apapun yang dikenakannya tak mengubah sedikitpun daya tariknya.
Aku menyayangkan waktu yang sangat singkat bertemu dengan Marc.
"Marc,...kau kemana selama hampir 3 minggu ini?" Tanyaku ingin tau. Aku benar benar tidak bisa menahan rasa ingin tahuku.
"Maaf...aku tidak memberimu kabar sebab kukira kamu tidak ingin tau kegiatanku...hehe karena kamu tidak pernah tanya..aku baru dari malaysia australia dan jepang ..."
Aku tersenyum sambil mengangguk pelan. Sebenarnya aku ingin tahu apa yang dikerjakannya di 3 negara itu, tapi pasti jadi lama dan perawat tadi pasti mengomel. Masih ada hari esok, pikirku.
"Marc..apa kau besok akan ke sini lagi?" Tanyaku malu-malu
"Kalau kau mengijinkan aku akan ke sini setiap hari..." jawab Marc sambil mengerjapkan matanya.
"Tentu...aku sangatbmenunggu.." jawabku jujur.
Hatiku maafkan aku melanggar janji. Aku tidak bisa membohongi diriku yang merindukan Marc. Hatiku maafkan aku melanggar janji untuk tidak jatuh cinta.
"Tuan, waktunya sudah hampir habis..silahkan tinggalkan nona Ilona, terimakasih" perawat tadi mengingatkan marc lagi.
"Ilona..sampai besok yah...semoga kau cepat pulih" ucap marc di telinga ku lalu mengecup lembut kedua pipiku sebelum meninggalkan kamar. Hatiku bergetar hebat. Dalam sakitku aku merasa sangat beruntung atas kehadiran Marc. Siapakah dia sebenarnya?
Aku menyesal tidak mencari informasi tentang marc, apa pekerjaannya. Itu karena aku sengaja membuat benteng agar aku tidak jatuh cinta dengan Marc. Rasa ingin tauku tentang Marc aku matikan dan kubuang jauh jauh. Namun akhirnya aku sendiri tidak kuasa menolak saat cinta itu datang mengetuk hatiku bahkan saat ini tengah menerjang dan membanjiri hatiku.
"Ah marc...rasanya tidak sabar menunggu pertemuan denganmu besok "
####
Aku masih di infus dengan immunoglobulin. Respon tubuhku cukup baik. Hari ini aku merasa jauh lebih baik. Bahkan aku tidak perlu lagi memakai masker oksigen, juga alat pacu jantung sudah dilepas. Hanya satu selang saja yang masih menempel di tangan kiriku, selang infus.
"Suster, boleh minta tolong rapikan rambut saya?" Pintaku. Aku tidak ingin terlihat kusut saat marc datang. Aku tidak ingin tampak seperti mayat. Meski aku masih terbaring.
Perawat itu dengan telaten menyisir rambutku dan memasangkan bandana, lalu mengoleskan lipgloss di bibirku yang kering.
"Sore ilonaaa..." tanpa melihat siapa yang menyapaku aku sudah tau itu suara Marc. Perawat itu kemudian meninggalkan aku saat marc masuk.
"Hay marc..kamu datang juga.." jawabku sambil tidak lupa memberikan senyuman termanisku. Marc mencium pipiku. Aku suka kebiasaan marc yang baru ini. Sejak kemarin dia melakukannya dan aku suka.
."aku membawakan sesuatu untukmu.."
Kulihat sedari tadi marc menyembunyikan kedua tangannya di punggung.
"apa? Kau membuatku penasaran...."
"Taraaaa.....coba lihat! "
"Kotak musik?"
"Benarrrr....apa kau suka?"
"Suka...suka sekali"
Marc membuka kotak musik itu. Muncul sebuah boneka cantik berpakaian balet. Boneka itu bergerak seiring musik. Menari. Balet!!
Aku tidak kuasa menahan tangis. Benda itu mengingatkan masa laluku. Aku benci melihatnya. Reflek aku meraih kotak musik dari tangan marc lalu membantingnya ke lantai. Sekejap suara musik itu lenyap dan pecah berkeping keping termasuk boneka penari balet itu pun hancur. Sama seperti aku, hancur.
Marc panik melihat reaksiku. Ia berusaha menenangkanku. Marc mendekapku.
"Ilona jangan nangis....nanti nafasmu sesak...maafkan aku..aku tidak tau salahku dimana tapi aku minta maaf membuatmu menangis" ucap marc gugup.
Aku tersentuh oleh kata kata marc, tentulah ia tidak tau apa salahnya tentulah ia tidak tau mengapa aku merusak hadiahnya. Aku coba menghentikan tangisku, kuhirup udara dalam dalam dan menghembuskannya pelan-pelan.
"maafkan aku marc...aku merusak hadiah darimu...seandainya bukan boneka penari balet ..." ucapku pelan, masih dalam dekapan Marc yang hangat. Kudengar detak jantungnya tak teratur. Aku benar-benar telag membuat Marc panik.
"Maafkan aku..aku tidak tau kalau kau tidak suka penari balet..." ucap Marc terbata.
"bukan...aku suka balet suka sekali bahkan aku ..." terdiam aku tak sanggup melanjutkan kalimatku.
"Lalu..." marc mengangkat lembut wajahku dengan kedua tangannya
"aku penari balet..." jawabku sambil menatap nanar ke dalam iris mata Marc. Seiring dengan jawaban yang keluar dari mulutku, air mataku turut mengalir.
Marc menengadah sambil memejamkan matanya mengatupkan bibirnya yang bergetar. Seakan marc turut merasakan kepedihan yang aku rasakan. Kemudian mendekapku lagi lebih erat dari sebelumnya.
"Apa bibi carlotta tidak cerita padamu?"
"Tentang?" Tanya Marc tak mengerti
"Lumpuhku ini...kau pernah dengar Miasthenia gravis?"
Marc menggeleng sambil terus lekat menatapku.
"Itu nama penyakit, yang membuatku menjadi gadis berkursi roda, merebut semua mimpiku...." pandanganku menerawang hampa menatap kosong tetesan infus yang tergantung tak jauh dariku.
"Hey....!! Jangan melamun...!" Sergah marc sambil melambaikan tanganya di wajahku.
"Apa sih??? Aku tidak melamun kok..." ucapku membantah dugaan Marc. Kuraih tangannya agar berhenti melambai lambai di wajahku.
Marc menatapku tajam saat aku meraih tangannya. Aku yakin semua mahluk bernama wanita di muka bumi ini takkan mampu manahan tatapan itu. Aku mengalihkan pandangan ke tangan Marc. Aku masih memegang tangan marc, sekarang aku benar benar merasakan permukaan telapak tangannya yg kasar karena kulitnya terkelupas.
"Tanganmu kasar sekali?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan
Marc tertawa. "Haha iya...tanganku seperti ini kecuali musim dingin. Eh maafkan aku yah tapi pipimu tidak lecet waktu aku menghapus air matamu tempo lalu?"
"Eh kau ingat?" Tanyaku tak percaya, sebab kukira hanya aku yang menyadarinya.
"Ilona...hal tersulit adalah melupakanmu..jadi mana mungkin aku tidak ingat? " jawab marc sambil menarik rangannya dari genggamanku
"Marc...kenapa bisa mengelupas seperti itu?" Tanyaku penasaran.
"Ini risiko pekerjaan..." jawab marc sambil mencabuti kulit tangannya yang mengelupas.
Aku mengangguk mengerti sebab sebagai penari balet dulu konsekuensinya jari jari kakiku lecet mengelupas dan di beberapa bagian mengeras.
"Apa aku boleh tau pekerjaanmu marc?"
"Eh kau jadi mengalihkan pembicaraan tadi kita sedang bicara tentang sakitmu. Pasti ada obatnya..."
Aku menggeleng..."tidak...kau tau mamaku dan nenek? Yang makamnya tiap hari aku datangi? Mereka meninggal karena miasthenia gravus kau tau...." jawabku pilu di mataku terbayang upacara kematian ku.
Marc menatapku dengan mata redup, aku tidak bisa mengartikan tatapan itu. Terlalu pede jika aku katakan itu tatapan mata takut kehilangan. Siapalah aku ini?
Marc menarik nafas berat memejamkan mata sejenak. "Ilona...ijinkan aku memelukmu lagi.." pinta marc.
Sebenarnya itu bukan minta ijin, karena Marc tidak menunggu jawabanku. Aku sudah berada dalam pelukannya. Tercium aroma tubuhnya. Mengingatkanku saat kejadian beberapa waktu lalu yang membuatku ada dalam gendongannya. Mencium aroma tubuhnya. Terekam dalam memori bawah sadarku. Aku tidak dapat mendefinisikan aroma seperti apa, yang pasti aku menyukainya. Marc masih memelukku.
"Ilona..." marc memanggil lembut namaku
"Yaaa..." jawabku pelan
"Aku rasa aku takut kehilangamu....aku terus memikirkanmu setiap kali kau tidak ada di dekatku. Aku selalu ingin cepat kembali ke cervera agar aku bisa mendorong kursi rodamu menyusuri jalanan di cervera, menghirup embun pagi yang sama, mengomentari kupu kupu, burung burung kecil, dan segala hal sepele namun saat bersamamu semua menjadi istimewa. Kau membuatku melihat dunia ini jadi lebih indah ilona...dàn saat tak bersamamu semua tampak biasa biasa saja...aku tidak tau mengapa bisa seperti ini, tapi ini jujur....aku harap kau tidak mengira aku sedang berbohong...sebenarnya aku sudah lama ingin mengatakannya..ilona maaf jika aku terlanjur mencintaimu...apakah kau juga merasakan hal yang sama??"
"Marc...kau tau saat kau tak datang lagi aku merasa waktu dalam sehari bukan 24 jam lagi tapi 48 jam, semua terasa lebih lama. Marc kau tau sejak kau datang kau membuatku takut.."
"Takut apa? Apa aku menakutkan untukmu"
Tanya marc sambil merenganggkan pelukannya. Lalu menatapku dalam jarak hanya beberapa sentimeter. Hingga aku jelas melihat iris mata marc yang choklat bahkan aku bisa melihat komedo disekitar hidungnya. Bulu matanya lebat dan lentik di bingkai sepasang alis yang lebat berwarna choklat tua. Bibirnya selalu basah dan selalu membentuk garis senyum.
"Kau membuatku takut menghadapi kematianku marc, karena aku takut tidak bisa lagi melihatmu..."
"Ilona kau tidak boleh mendahului Tuhan tentang kematian, dengar ilona hatiku sakit mendengarmu mengatakan kematianmu sudah dekat. Aku memang tidak tau tentang dunia kedokteran. Tapi aku punya keyakinan bahwa selalu ada jalan asalkan ada kemauan. Kau harus belajar untuk perpikir positif dan optimis bahkan dalam situasi terburuk sekalipun."
"Tapi...." bantahku
"Sssttt..." marc meletakkan jari telunjuknya di atas bibirku. Lalu membelai bibirku dengan jemarinya menatapku dalam. Kemudian mendaratkan bibirnya di atas bibirku. Aku memejamkan mata. Aku tidak bisa menolaknya karena aku juga menginginkannya. Bibirnya yang lembut menyentuh bibirku, tidak seperti jemarinya yang kasar. ini ciuman pertamaku!
Darahku mengalir kencang dan aku tak berani bernafas. Untunglah marc hanya mengecup singkat namun seumur hidup takkan pernah kulupakan!
"Berjanjilah untuk sembuh? Berjanjilah kita akan menua bersama, menghabiskan waktu bersama sampai akhir hidup bersamaku"
Sejenak aku lupa tentang bayang bayang malaikat kematian. Aku mengangguk.
"Demi kamu, aku ingin hidup seribu tahun lagi marc..."
@@####@@
Aku duduk bersandarkan bantal di punggungku. Sejak tadi malam aku tidak makan, puasa untuk persiapan operasiku. Timektomi. Marc berhasil meyakinkanku untuk mengambil tindakan itu.
"Pagi nona ilona...nampak lebih segar pagi ini..." sapa perawat yang baru kemarin aku tahu namanya carbonel.
"Pagi...."
Rutinitas pagi yang selalu perawat itu lakukan. Menyeka badanku. Mengukur suhu tubuh, tekanan darah, menghitung denyut nadiku lalu mencatatnya dalam berkas.
"Nona...apa pangeranmu akan datang pagi ini?"
Aku terperanjat
"Maksudku tuan Marc Marquez..."
"Oh iya...ada apa?"
"Saya menitipkan ini tolong sampaikan untuk tuan Marc.." kata perawat itu sambil menyerahkan amplop coklat berukuran A4 padaku.
Meski bingung, aku menerimanya. "Baiklah ...sebentar lagi dia datang..."
"Terimakasih banyak nona, saya lanjutkan tugas saya ke pasien berikunya, semoga operasinya lancar..."
Perawat itu berlalu. Aku masih mengamati amplop choklat itu, tidak di segel. Sepertinya bukan rahasia. Aku mengintip isinya. Nampak seperti foto-foto. Aku menariknya satu lembar. Jantungku memburu seketika. Foto dalam amplop itu marc!!
Bagaiamana mungkin perawat itu memiliki foto marc??? Siapa dia? Ada hubungan apa???
To be continued....
Sejak insiden pembajakan kursi roda oleh Alex lalu Ilona terjatuh, menjadi semacam benang merah yang menyatukan alur cerita hidup Ilona dengan Marc. Marc merasakan ada sesuatu dalam di Ilona yang membuatnya tertarik, masih tidak mengerti apakah sesuatu itu. Mungkin karena Ilona tidak mengejar ngejarnya? Kecantikan ilona? Wajahnya ayu, tapi jika wajah ayunya saja mengapa marc tidak memiliki perasaan yang sama pada Lara, Sara maupun Angelika para model papan atas yang seringkali berpasangan dengan dirinya. Pusing mencernanya. Marc hanya mengikuti kata hatinya. ilona. Nama yang unik bagi Marc. Ketika pertama melihatnya membuat Marc ingin melihat untuk kedua kalinya. Namun ketika marc melihat ilona untuk kedua kalinya membuat dirinya ingin melihatnya untuk ketiga kalinya. Begitu seterusnya. Ilona seperti zat adiktif yang membuatnya selalu ingin lagi dan lagi. Kesepakatan mengantar ilona jalan jalan pagi sebagai konsekuensi rusaknya kursi rodapun dengan suka hati ia ambil alih dari Alex. Dengan senang hati Alex memberikan, bahkan karena hal itu Alex menganggap Marc kakak yang luar biasa baik. Dan penantian perjumpaan dengan ilona menjadi lebih menarik ketimbang race motogp yang dulu sangat dinantinya. Semua menjadi biasa saja kecuali ilona. Obrolan ringan dengan ilona menjadi hal luar biasa meski hanya membicarakan kupu-kupu kuning yang warnanya tidak simetris. Atau membahas tentang semut yang selalu bersalaman setiap kali ketemu. Atau bunga liar sepanjang jalan yang dulu sering terinjak oleh marc saat jogging. Bunga itu menjadi luar biasa indah saat Ilona yang mengatakannya.
" marc....kau tau sejak kecil aku suka sekali bunga, apapun bahkan bunga seperti ini yang tumbuh liar, jika kau perhatikan dengan seksama dari dekat, ia indah sekali" kata ilona sambil menyodorkan bunga liar di tangannya.
Marc menerimanya, lalu mengamatinya. Benar! Bunga itu indah ketika benar benar diamati. Sejak saat itu mendadak marc menjadi pencinta bunga, di manapun saat melihat bunga marc teringat Ilona.
Obrolan ringan dan sepele yang tercipta yang tidak menonjolkan tentang siapa diri. Bukan karena siapa marc dan siapa ilona.
@@@@@@
Ilona POV
Sudah hampir 2 minggu marc tidak datang, alex juga sama, 2 orang itu seperti hilang diculik alien. Belum pernah selama ini Marc menghilang. Sebenarnya aku ingin bertanya pada bibi carlotta tapi aku malu. Bibi carlotta pasti akan menggodaku jika aku bertanya tentang mereka. Hari dan minggu terasa lambat berjalan tanpa marc. Biasanya hanya menjelang weekend saja dia tidak datang. Entah apa yang dia lakukan setiap weekend. Mungkin dia menghabiskan waktu bersama kekasihnya. Aaahh bodohnya aku!! Benar saja setiap week end dia tidak ada. Aku benci kenapa aku harus bertemu dengan marc! Aku benci kenapa marc harus sebaik itu pada gadis cacat seperti ku. Tidakkah ia tau itu hanya akan menyakitiku? Memberi harapan kosong. Fatamorgana!!
Perlahan pandanganku kabur seperti kaca mobil yang tersiram air hujan. Aku termenung di atas kursi rodaku menghadap jendela. Di luar sana hujan. Hujan, membuat kesedihanku sempurna. Atau mungkin ini cara Tuhan membuatku lebih siap meninggalkan dunia? Ketika tidak ada lagi alasan untukku tetap bertahan di dunia ini. Mungkin.
Papa. Sudah lama papa tidak menengokku. Kudengar dari bibi Carlotta karir papa semakin maju sehingga papa makin sibuk karena harus sering pergi ke New York. Papa masih muda, dan tampan. Pasti banyak wanita di luar sana yang ingin menjadi istri papa, tapi pasti mereka tidak ingin memiliki anak tiri pesakitan seperti ku. Ya! Aku hanya menjadi penghalang kebahagiaan papa. Maka lebih baik aku ini tidak ada, jadi papa tidak perlu repot mencari wanita pengganti mama yang mau menerimaku.
"Ilona....lihat bibi bawakan ocha hangat kesukaanmu..." suara bibi Carlotta memecah suasana haru biru hatiku pagi itu. Aku tidak segera menengok. Cepat kuhapus air mata yang sedari tadi membanjiri wajahku. Arghh tapi tanganku rasanya lemas..dan....terlambat!! Bibi Carlotta mendapatiku menangis.
"Ehh ilonaa, kamu menangis?? Sayang jangan nangis...ayo ceritakan padaku..ada apa?" Tanya bibi Carlotta dengan wajah khawatir.
"Ehmmm...tidak apa apa..mungkin karena hujan jadi..aku terbawa suasana" jawabku bohong, tapi aku tak terlalu pandai berbohong.
"Ayolah jujur pada bibi....ada apa?" Bibi carlotta benar benar tak percaya.
"Ehmmm..tidak aku cuma kangen sama papa" jawabku akhirnya.
Terlihat ekspresi lega di wajah bibi carlotta.
"Tenanglah ...baru bibi mau kasih kabar...besok ayahmu datang, dia juga kangen berat sama gadis semata wayangnya..." ucap bibi Carlotta sambil mengusap sisa air mataku dengan punggung tangannya.
"Ahh...betul bi? Aky senang sekali..." pekikku. Sejenak mendung kesedihan tadi tergusur oleh kabar tentang kedatangan papa.
"Nah gitu cantik...senyum doong..bibi lega melihatmu tersenyum begitu. Oke bibi mau ke klinik paman Emilio dulu ya...pamanmu itu lupa tidak membawa ponselnya. Bibi cuma sebentar. Kamu jangan ke mana mana ya..., tehnya di meja yah...sekarang bibi pergi dulu..."
Selepas bibi carlotta menghilang bersama deru mesin mobil yang dikendarainya, rumah kembali sepi. Aku benar-benar sendiri. Rasanya hujan hujan begini minum ocha pasti enak. Aku raih segelas ocha buatan bibi carlotta yang diletakkan di atas meja tadi.
"PRAAANGGG!!!!"
Gelas yang kupegang merosot dengan bebas ke lantai. Hancur serpihan kacanya berhamburan ke setiap sudut ruangan. Air ochanya menggenang di lantai. Tapi bukan itu yang membuatku panik. Ada hal lain yang membuatku lebih takut. Jemari tanganku kebas tidak bisa digerakkan dan terus menjalar ke pergelangan tangan lalu lengan. Kemudian aku merasakan nafasku mulai berat dan semakin berat. Aku seperti dihimpit benda padat dari ke dua sisi. Tubuhku tak dapat begerak dan semuanya gelap......
✏✏📝
Perlahan aku membuka mataku. "Pecahan gelas itu. Di mana pecahan gelas itu. Aku tidak mengenali ruangan ini. Ini bukan di rumah bibi Carlotta. Di mana aku?"
Mataku tak begitu jelas melihat karena cahaya terasa terlalu silau, semuanya serba putih. Sayup sayup kudengar suara "bip" yang teratur dan itu seirama detak jantungku. Otakku masih mencerna gambaran disekelilingku. Selang infus. Selang oksigen. Alat rekam jantung. Cat serba putih. Clue itu merujuk ke satu temoat. Aku di rumah sakit!
"Mengapa aku bisa ada di sini?" Tak ada seorangpun di kamar ini.
Kudengar suara langkah mendekat. Papa datang, kapan papa datang...sedari tadi pikiranku sibuk dengan tanda tanya yang terus bermunculan.
"Ilooo....akhirnya kamu sadar...nak. papa sangat khawatir. Maafkan papa yaa, akhir akhir ini papa terlalu sibuk padahal kamu memerlukan perhatian papa. Maafkan papa ya nak..." kata papa panjang lebar. Sebenarnya aku tidak peduli dengan kata kata papa, bagiku papa ada di dekatku sudah lebih dari cukup.
"Ngga apa-apa pa, papa ngga perlu minta maaf. Ilo ngga apa-apa. Oya pap kok papa udah di sini kata bibi carlotta papa baru datang 2 hari lagi?" Tanyaku susah payah. Aku tak begitu nyaman bicara karena masker oksigen yang menghalangi mulut dan hidungku.
Papa tidak menjawab pertanyaanku, ia merengkuhku dalam pelukannya. Lalu kurasakan pipiku basah, padahal aku tidak sedang menangis.
"Papa menangis?" Tanyaku takjub.
Papa lelaki tegar bahkan saat akhirnya mama meninggal ia tidak menangis. Apakah yang membuat lelaki setegar papa berurai air mata?
"Ilo...sayang...kamu koma selama 3 hari, bibi carlotta menelfon papa saat papa dari new York akan kembali ke barcelona. Bibi carlotta dan marc menemukanmu pingsan. Lalu mereka membawamu ke rumah sakit. MG itu menyerang otot-otot mu lagi. Papa harap kamu kuat. Papa akan mengusahakan kesembuhanmu. Kamu tetap semangat ya..."
Aku mendengarkan ucapan papa, jadi ternyata aku koma. Jadi MG ini memburuk lebih cepat dari yang kuduga. Aku coba gerakan jemariku. Kulihat bergerak sedikit. Memang gerakannya tidak seperti yang kumau. Aku sudah pasrah karena aku tau hal ini cepat atau lambat pasti terjadi. Air mata papa membuatku harus tegar, aku tidak ingin papa bersedih melihatku terpuruk. Air mata papa sangat berharga untukku. Membuatku sadar bahwa papa sangat menyayangiku, tidak seperti yang kupikir beberapa hari lalu bahwa papa akan menikah lalu melupakanku.
"Iya pap, ilo janji akan tetap semangat..." janjiku sambil tersenyum, meski papa tidak melihat senyumku karena terhalang masker oksigen.
"Oh iya selain papa juga ada seseorang yang lebih khawatir dari papa ternyata..., sebentar papa panggil ya...?"
Papa melangkah keluar. Hmm pasti bibi Carlotta, aku merasa bersalah membuatnya khawatir. Terakhir kuingat aku memecahkan gelas berisi ocha sebelum semuanya menjadi gelap.
Aku menoleh ketika sekilas bayangan masuk selepas papa keluar kamar tadi. Bukan bibi carlotta!
" marc?" Tanyaku lemah. Aku tidak mengira marc menjengukku. Diakah orang yang di maksud papa?
Marc mendekat, matanya lekat menatapku. Jemarinya yang besar dan telapak tangannya yang kasar menggenggam tanganku yang dingin. Tangan marc hangat. Dan kehangatan itu menjalar ke seluruh tubuhku, memberi kekuatan tersendiri yang tidak bisa di jelaskan. Entahlah saat marc ada di dekatku aku selalu merasa lebih baik.
"Ilona..., hmmm gimana sekarang? Apa yang kau rasakan? Sakitkah?" Tanya marc dengan ekspresi khawatir
Aku hanya menggeleng. Tenggorokan ku terasa kering. Mungkin karena selama tigaselama tiga hari belum terlewati air.
Kami hanya saling menatap. Tatapan mata marc membuatku ingin hidup seribu tahun lagi. Sungguh! Dan hatiku perih karena keinginanku itu mustahil. Bahkan mungkin saat ini malaikat pencabut nyawa sedang berkeliaran di dekatku, bersiap siap menekan tombol "off" untukku.
Seorang perawat datang mengantarkan minuman.
"Maaf tuan, nona ilona baru sadar dari komanya jangan dulu diajak bicara terlalu banyak..." perawat itu memperingati.
Kemudian perawat itu memberikanku minum dengan sendok sedikit demi sedikit. Cukup membasahi tenggorokanku yang kering.
Marc masih duduk di samping tempat tidurku dan memperhatikanku yang sedang disuapi air putih sesendok demi sesendok.
"Waktunya tidak sampai 5 menit ya tuan, setelah itu nona ilona harus istirahat" ucap perawat itu lagi pada Marc. Marc mengangguk sopan sambil tersenyum tipis. Tidak salah jika perawat itu memanggil tuan karena saat itu marc mengenakan kemeja biru muda dan celana hitam. Biasanya marc mengenakan jeans dan kaos. Tapi apapun yang dikenakannya tak mengubah sedikitpun daya tariknya.
Aku menyayangkan waktu yang sangat singkat bertemu dengan Marc.
"Marc,...kau kemana selama hampir 3 minggu ini?" Tanyaku ingin tau. Aku benar benar tidak bisa menahan rasa ingin tahuku.
"Maaf...aku tidak memberimu kabar sebab kukira kamu tidak ingin tau kegiatanku...hehe karena kamu tidak pernah tanya..aku baru dari malaysia australia dan jepang ..."
Aku tersenyum sambil mengangguk pelan. Sebenarnya aku ingin tahu apa yang dikerjakannya di 3 negara itu, tapi pasti jadi lama dan perawat tadi pasti mengomel. Masih ada hari esok, pikirku.
"Marc..apa kau besok akan ke sini lagi?" Tanyaku malu-malu
"Kalau kau mengijinkan aku akan ke sini setiap hari..." jawab Marc sambil mengerjapkan matanya.
"Tentu...aku sangatbmenunggu.." jawabku jujur.
Hatiku maafkan aku melanggar janji. Aku tidak bisa membohongi diriku yang merindukan Marc. Hatiku maafkan aku melanggar janji untuk tidak jatuh cinta.
"Tuan, waktunya sudah hampir habis..silahkan tinggalkan nona Ilona, terimakasih" perawat tadi mengingatkan marc lagi.
"Ilona..sampai besok yah...semoga kau cepat pulih" ucap marc di telinga ku lalu mengecup lembut kedua pipiku sebelum meninggalkan kamar. Hatiku bergetar hebat. Dalam sakitku aku merasa sangat beruntung atas kehadiran Marc. Siapakah dia sebenarnya?
Aku menyesal tidak mencari informasi tentang marc, apa pekerjaannya. Itu karena aku sengaja membuat benteng agar aku tidak jatuh cinta dengan Marc. Rasa ingin tauku tentang Marc aku matikan dan kubuang jauh jauh. Namun akhirnya aku sendiri tidak kuasa menolak saat cinta itu datang mengetuk hatiku bahkan saat ini tengah menerjang dan membanjiri hatiku.
"Ah marc...rasanya tidak sabar menunggu pertemuan denganmu besok "
####
Aku masih di infus dengan immunoglobulin. Respon tubuhku cukup baik. Hari ini aku merasa jauh lebih baik. Bahkan aku tidak perlu lagi memakai masker oksigen, juga alat pacu jantung sudah dilepas. Hanya satu selang saja yang masih menempel di tangan kiriku, selang infus.
"Suster, boleh minta tolong rapikan rambut saya?" Pintaku. Aku tidak ingin terlihat kusut saat marc datang. Aku tidak ingin tampak seperti mayat. Meski aku masih terbaring.
Perawat itu dengan telaten menyisir rambutku dan memasangkan bandana, lalu mengoleskan lipgloss di bibirku yang kering.
"Sore ilonaaa..." tanpa melihat siapa yang menyapaku aku sudah tau itu suara Marc. Perawat itu kemudian meninggalkan aku saat marc masuk.
"Hay marc..kamu datang juga.." jawabku sambil tidak lupa memberikan senyuman termanisku. Marc mencium pipiku. Aku suka kebiasaan marc yang baru ini. Sejak kemarin dia melakukannya dan aku suka.
."aku membawakan sesuatu untukmu.."
Kulihat sedari tadi marc menyembunyikan kedua tangannya di punggung.
"apa? Kau membuatku penasaran...."
"Taraaaa.....coba lihat! "
"Kotak musik?"
"Benarrrr....apa kau suka?"
"Suka...suka sekali"
Marc membuka kotak musik itu. Muncul sebuah boneka cantik berpakaian balet. Boneka itu bergerak seiring musik. Menari. Balet!!
Aku tidak kuasa menahan tangis. Benda itu mengingatkan masa laluku. Aku benci melihatnya. Reflek aku meraih kotak musik dari tangan marc lalu membantingnya ke lantai. Sekejap suara musik itu lenyap dan pecah berkeping keping termasuk boneka penari balet itu pun hancur. Sama seperti aku, hancur.
Marc panik melihat reaksiku. Ia berusaha menenangkanku. Marc mendekapku.
"Ilona jangan nangis....nanti nafasmu sesak...maafkan aku..aku tidak tau salahku dimana tapi aku minta maaf membuatmu menangis" ucap marc gugup.
Aku tersentuh oleh kata kata marc, tentulah ia tidak tau apa salahnya tentulah ia tidak tau mengapa aku merusak hadiahnya. Aku coba menghentikan tangisku, kuhirup udara dalam dalam dan menghembuskannya pelan-pelan.
"maafkan aku marc...aku merusak hadiah darimu...seandainya bukan boneka penari balet ..." ucapku pelan, masih dalam dekapan Marc yang hangat. Kudengar detak jantungnya tak teratur. Aku benar-benar telag membuat Marc panik.
"Maafkan aku..aku tidak tau kalau kau tidak suka penari balet..." ucap Marc terbata.
"bukan...aku suka balet suka sekali bahkan aku ..." terdiam aku tak sanggup melanjutkan kalimatku.
"Lalu..." marc mengangkat lembut wajahku dengan kedua tangannya
"aku penari balet..." jawabku sambil menatap nanar ke dalam iris mata Marc. Seiring dengan jawaban yang keluar dari mulutku, air mataku turut mengalir.
Marc menengadah sambil memejamkan matanya mengatupkan bibirnya yang bergetar. Seakan marc turut merasakan kepedihan yang aku rasakan. Kemudian mendekapku lagi lebih erat dari sebelumnya.
"Apa bibi carlotta tidak cerita padamu?"
"Tentang?" Tanya Marc tak mengerti
"Lumpuhku ini...kau pernah dengar Miasthenia gravis?"
Marc menggeleng sambil terus lekat menatapku.
"Itu nama penyakit, yang membuatku menjadi gadis berkursi roda, merebut semua mimpiku...." pandanganku menerawang hampa menatap kosong tetesan infus yang tergantung tak jauh dariku.
"Hey....!! Jangan melamun...!" Sergah marc sambil melambaikan tanganya di wajahku.
"Apa sih??? Aku tidak melamun kok..." ucapku membantah dugaan Marc. Kuraih tangannya agar berhenti melambai lambai di wajahku.
Marc menatapku tajam saat aku meraih tangannya. Aku yakin semua mahluk bernama wanita di muka bumi ini takkan mampu manahan tatapan itu. Aku mengalihkan pandangan ke tangan Marc. Aku masih memegang tangan marc, sekarang aku benar benar merasakan permukaan telapak tangannya yg kasar karena kulitnya terkelupas.
"Tanganmu kasar sekali?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan
Marc tertawa. "Haha iya...tanganku seperti ini kecuali musim dingin. Eh maafkan aku yah tapi pipimu tidak lecet waktu aku menghapus air matamu tempo lalu?"
"Eh kau ingat?" Tanyaku tak percaya, sebab kukira hanya aku yang menyadarinya.
"Ilona...hal tersulit adalah melupakanmu..jadi mana mungkin aku tidak ingat? " jawab marc sambil menarik rangannya dari genggamanku
"Marc...kenapa bisa mengelupas seperti itu?" Tanyaku penasaran.
"Ini risiko pekerjaan..." jawab marc sambil mencabuti kulit tangannya yang mengelupas.
Aku mengangguk mengerti sebab sebagai penari balet dulu konsekuensinya jari jari kakiku lecet mengelupas dan di beberapa bagian mengeras.
"Apa aku boleh tau pekerjaanmu marc?"
"Eh kau jadi mengalihkan pembicaraan tadi kita sedang bicara tentang sakitmu. Pasti ada obatnya..."
Aku menggeleng..."tidak...kau tau mamaku dan nenek? Yang makamnya tiap hari aku datangi? Mereka meninggal karena miasthenia gravus kau tau...." jawabku pilu di mataku terbayang upacara kematian ku.
Marc menatapku dengan mata redup, aku tidak bisa mengartikan tatapan itu. Terlalu pede jika aku katakan itu tatapan mata takut kehilangan. Siapalah aku ini?
Marc menarik nafas berat memejamkan mata sejenak. "Ilona...ijinkan aku memelukmu lagi.." pinta marc.
Sebenarnya itu bukan minta ijin, karena Marc tidak menunggu jawabanku. Aku sudah berada dalam pelukannya. Tercium aroma tubuhnya. Mengingatkanku saat kejadian beberapa waktu lalu yang membuatku ada dalam gendongannya. Mencium aroma tubuhnya. Terekam dalam memori bawah sadarku. Aku tidak dapat mendefinisikan aroma seperti apa, yang pasti aku menyukainya. Marc masih memelukku.
"Ilona..." marc memanggil lembut namaku
"Yaaa..." jawabku pelan
"Aku rasa aku takut kehilangamu....aku terus memikirkanmu setiap kali kau tidak ada di dekatku. Aku selalu ingin cepat kembali ke cervera agar aku bisa mendorong kursi rodamu menyusuri jalanan di cervera, menghirup embun pagi yang sama, mengomentari kupu kupu, burung burung kecil, dan segala hal sepele namun saat bersamamu semua menjadi istimewa. Kau membuatku melihat dunia ini jadi lebih indah ilona...dàn saat tak bersamamu semua tampak biasa biasa saja...aku tidak tau mengapa bisa seperti ini, tapi ini jujur....aku harap kau tidak mengira aku sedang berbohong...sebenarnya aku sudah lama ingin mengatakannya..ilona maaf jika aku terlanjur mencintaimu...apakah kau juga merasakan hal yang sama??"
"Marc...kau tau saat kau tak datang lagi aku merasa waktu dalam sehari bukan 24 jam lagi tapi 48 jam, semua terasa lebih lama. Marc kau tau sejak kau datang kau membuatku takut.."
"Takut apa? Apa aku menakutkan untukmu"
Tanya marc sambil merenganggkan pelukannya. Lalu menatapku dalam jarak hanya beberapa sentimeter. Hingga aku jelas melihat iris mata marc yang choklat bahkan aku bisa melihat komedo disekitar hidungnya. Bulu matanya lebat dan lentik di bingkai sepasang alis yang lebat berwarna choklat tua. Bibirnya selalu basah dan selalu membentuk garis senyum.
"Kau membuatku takut menghadapi kematianku marc, karena aku takut tidak bisa lagi melihatmu..."
"Ilona kau tidak boleh mendahului Tuhan tentang kematian, dengar ilona hatiku sakit mendengarmu mengatakan kematianmu sudah dekat. Aku memang tidak tau tentang dunia kedokteran. Tapi aku punya keyakinan bahwa selalu ada jalan asalkan ada kemauan. Kau harus belajar untuk perpikir positif dan optimis bahkan dalam situasi terburuk sekalipun."
"Tapi...." bantahku
"Sssttt..." marc meletakkan jari telunjuknya di atas bibirku. Lalu membelai bibirku dengan jemarinya menatapku dalam. Kemudian mendaratkan bibirnya di atas bibirku. Aku memejamkan mata. Aku tidak bisa menolaknya karena aku juga menginginkannya. Bibirnya yang lembut menyentuh bibirku, tidak seperti jemarinya yang kasar. ini ciuman pertamaku!
Darahku mengalir kencang dan aku tak berani bernafas. Untunglah marc hanya mengecup singkat namun seumur hidup takkan pernah kulupakan!
"Berjanjilah untuk sembuh? Berjanjilah kita akan menua bersama, menghabiskan waktu bersama sampai akhir hidup bersamaku"
Sejenak aku lupa tentang bayang bayang malaikat kematian. Aku mengangguk.
"Demi kamu, aku ingin hidup seribu tahun lagi marc..."
@@####@@
Aku duduk bersandarkan bantal di punggungku. Sejak tadi malam aku tidak makan, puasa untuk persiapan operasiku. Timektomi. Marc berhasil meyakinkanku untuk mengambil tindakan itu.
"Pagi nona ilona...nampak lebih segar pagi ini..." sapa perawat yang baru kemarin aku tahu namanya carbonel.
"Pagi...."
Rutinitas pagi yang selalu perawat itu lakukan. Menyeka badanku. Mengukur suhu tubuh, tekanan darah, menghitung denyut nadiku lalu mencatatnya dalam berkas.
"Nona...apa pangeranmu akan datang pagi ini?"
Aku terperanjat
"Maksudku tuan Marc Marquez..."
"Oh iya...ada apa?"
"Saya menitipkan ini tolong sampaikan untuk tuan Marc.." kata perawat itu sambil menyerahkan amplop coklat berukuran A4 padaku.
Meski bingung, aku menerimanya. "Baiklah ...sebentar lagi dia datang..."
"Terimakasih banyak nona, saya lanjutkan tugas saya ke pasien berikunya, semoga operasinya lancar..."
Perawat itu berlalu. Aku masih mengamati amplop choklat itu, tidak di segel. Sepertinya bukan rahasia. Aku mengintip isinya. Nampak seperti foto-foto. Aku menariknya satu lembar. Jantungku memburu seketika. Foto dalam amplop itu marc!!
Bagaiamana mungkin perawat itu memiliki foto marc??? Siapa dia? Ada hubungan apa???
To be continued....
gatau kenapa aku interest sama tokoh antogonis dan karena *mungkin* yg ngasih amplop itu bakalan jadi tokoh antogonis jadi, aku makin tertarik sama ff ini hehe :D
BalasHapusditunggu lanjutannya yaaa :)
Hehe lanjutannya udah ada tapi nunggu pembaca ke 500 dulu utk ff seri 3 ini
BalasHapussemoga cepet 500 deh kak hehe soalnya aku penasaran bangeeet. oiya kunjungi blog aku dong kak http://realsindi.blogspot.com/ aku jga suka nulis ff loh hehe
BalasHapusBaru 170 sin...masih lamaa
BalasHapus